TUMBUHAN BERKEPING SATU
(MONOCOTYLEDONEAE)
BAWANG-BAWANGAN (Liliaceae)
Jamilah Nasution (Mahasiswa S2 Pascasarjana Institut Pertanian Bogor)
Bawang merah (Allium cepa) dan bawang putih (Allium sativum) sangat dikenal oleh masyarakat. Kedua jenis tumbuhan ini banyak digunakan dalam kehidupan manusia sehari-hari, terutama untuk bumbu dapur. Dulunya bawang lebih dikenal sebagai tanaman obat karena manfaatnya yang luar biasa. Penelitian ilmiah membuktikan, bawang dapat mencegah kanker, antiseptik, antikoagulan dan menurunkan kadar kolesterol. Kini bawang lebih populer sebagai bumbu dapur, aromanya yang khas menjadikan masakan lebih harum dan lezat.
Bawang merah (Allium cepa) adalah tanaman semusim yang memiliki umbi .berlapis. Tidak berbatang, merah keputih putihan, berlobang, bentuk lurus, ujung runcing, tapi rata, menebal dan berdaging serta mengandung persediaan makanan yang terdiri atas subang yang dilapisi daun sehingga menjadi umbi lapis, berwarna hijau. Berdaun tunggal, memeluk umbi lapis. Bunga majemuk, bentuk bongkol, bertangkai silindris, hijau, benang sari enam, tangkai sari putih, kepala sari hijau, putik menancap pada dasar bunga, mahkota bentuk bulat telur, ujung runcing, tengahnya bergaris putih. Buah batu, bulat, hijau. Biji berbentuk segitiga, hitam. Tanaman ini mempunyai akar serabut, dengan daun berbentuk silinder berongga. Umbi terbentuk dari pangkal daun yang bersatu dan membentuk batang yang berubah bentuk dan fungsi, membesar dan membentuk umbi berlapis. Umbi bawang merah terbentuk dari lapisan-lapisan daun yang membesar dan bersatu. Umbi bawang merah bukan merupakan umbi sejati seperti kentang atau talas.
Liliaceae merupakan nama suku bawang-bawangan yang diambil karena kelompok suku ini lebih dikenal dengan kelompok bunga lili. Semua jenis pada suku ini memiliki umbi lapis yang merupakan bahan dasar untuk perkembangbiakannya. Beberapa jenis yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bahan campuran dan penyedap bumbu masakan antara lain : Allium cepa (bawang merah), Allium sativum (bawang putih), Allium porum (bawang prei), Allium schoenoprasum (bawang kucai). Jenis lain seperti Aloe vera (lidah buaya), Cordyline fructicosa (hanjuang), Gloriosa superba (kembang sungsang), Liliodendron tulifera (tulip), merupakan tanaman hias yang umum ditemukan dalam perumahan penduduk. Bahkan Liliodendron tulifera merupakan tanaman bunga khas negeri kincir angin Belanda. Selain itu juga Pleomele angustifolia (daun suji) yang dipergunakan sebagai pewarna makanan.
Bawang putih mempunyai nama latin Allium sativum, kata All berarti berbau tidak sedap dan sativum berarti dibudidayakan. Sebutan sativum untuk membedakannya dengan bawang jenis lain yang tumbuh liar, yaitu Allium longicurpis Regel. Tanaman bawang putih bisa ditemukan dalam bentuk terna (bergerombol), tumbuhan tegak, dan bisa mencapai ketinggian 30 – 60 cm. Bawang mentah penuh dengan senyawa-senyawa sulfur, termasuk zat kimia yang disebut “alliin” yang membuat bawang putih mentah terasa getir.
Di Indonesia, terdapat beberapa sentra bawang putih, di antaranya Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara. Jenis bawang putih unggul yang dibudidayakan di Indonesia adalah lumbu hijau dan lumbu kuning untuk lahan di dataran tinggi dan lumbu putih untuk di dataran rendah. Selain itu dikenal varietas bawang putih lanang yaitu bawang yang hanya terdiri dari satu siung. Sesungguhnya bawang putih lanang merupakan bawang putih biasa yang tumbuh di lingkungan yang tidak sesuai, sehingga tak berkembang dengan baik dan hanya mampu mengasilkan satu siung. Masyarakat percaya bahwa bawang putih lanang memiliki khasiat lebih baik dari bawang putih biasa, walaupun secara ilmiah belum ada buktinya.
Kedua jenis bawang tersebut merupakan tumbuhan herba semusim, berdaun tunggal, bentuknya lurus, tepi rata, ujung runcing, menebal dan berdaging, serta mengandung persediaan makanan yang terdiri dari siung-siung yang dilapisi daun sehingga menjadi umbi lapis. Bawang merah dan bawang putih merupakan dua jenis tumbuhan yang berbeda, hal ini tampak pada batang dan bunga. Pada umumnya bawang merah tidak memiliki batang, berwarna merah keputih-putihan. Bunga majemuk, berbentuk bongkol, bertangkai silindris, berwarna hijau, sedangkan pada bawang putih batangnya semu, beralur dan berwarna hijau. Bunga majemuk, berbentuk payung, bertangkai panjang, dan berwarna.
BAKUNG-BAKUNGAN (Amaryllidaceae)
Sri Endarti Rahayu (Fakultas Biologi – Universitas Nasional, Jakarta)
Bakung – Crinum asiaticum L., dan kembang torong – Hipperastrum puniceum (Lam.) Kuntze, merupakan dua jenis tanaman yang dikenal sebagai tanaman hias karena memiliki bunga yang indah, berukuran besar dan berwarna-warni, sehingga banyak diminati oleh masyarakat di kawasan Asia Tenggara. Bakung bentuknya sangat mirip dengan Amaryllis, bedanya hanya pada tabung perhiasan bunga yang ukurannya lebih panjang. Bakung dapat bersilangan dengan bebas, sehingga dikenal adanya beberapa hibrid yang terjadi antara Crinum dan Amaryllis. Kandungan alkaloid yang terdapat dalam umbi dan daun yang dimiliki bakung dan kembang torong menyebabkan tanaman ini sering digunakan dalam mengobati beberapa penyakit. Hampir semua alkaloid yang ditemukan di alam mempunyai aktivitas biologis tertentu yang berguna dalam pengobatan, sehingga umbi dan daun dari ke dua jenis tanaman ini dapat digunakan untuk mengobati kaki dan lengan yang bengkak, kencing tertahan, peluruh keringat, dan obat pembuat muntah. Bila seseorang terkena panah beracun, maka dengan memamah akar tumbuhan ini dan meminum airnya, akan membuat orang tersebut untuk muntah; muntah ini dimaksudkan agar dapat memecahkan kekuatan dari toksin yang ada, dan sisa tumbuhannya digunakan untuk mengobati lukanya.
Keduanya merupakan tanaman herba yang memiliki umbi di dalam tanah, dan tingginya mencapai 1.3 m (pada bakung), atau hanya sampai 70 cm (pada bunga torong). Daun bakung bentuknya menjorong, sedangkan pada bunga torong daun bentuknya lanset. Perbungaan berbentuk payung, dan memiliki gagang bunga. Bunga bakung berwarna putih keunguan dengan stamen berwarna merah muda sampai lembayung, sedangkan pada bunga torong bunganya berwarna merah dengan stamen berwarna putih.
Bakung dan bunga torong tumbuh secara alami di tempat-tempat yang berpasir, di tepi pantai di Asia Selatan, Malaysia dan Polynesia, dan di Peninsula tumbuh di hutan di sepanjang pantai.
Di samping ke dua jenis tersebut, Zephyranthes candida Herb. – kembang coklat yang berasal dari Chili dan Brasilia, juga dibudidayakan sebagai tanaman hias. Nama Zephyranthes itu sendiri memiliki arti yang unik, yaitu bunga dari Barat, tetapi kembang coklat ini dikenal juga dengan nama bawang sebrang, merupakan terna kecil yang tingginya hanya 15-30 cm; daunnya panjang dan pipih keluar dari umbi yang terletak di dalam tanah; bunganya tunggal, bertangkai, bentuknya seperti corong yang menghadap ke atas, berwarna putih dan dadu. Alkaloid yang dimilikinya selain bermanfaat dalam mengobati penyakit gangguan fungsi hati (lever), kejang pada anak-anak, penurun panas, dan ayan ; alkaloid ini juga dapat bersifat toksik sehingga dapat menyebabkan keracunan, radang pada kulit, dan demam. Pada tanaman ini , bagian yang toksik adalah umbinya.
Liat sahari – Pancratium zeylanicum L. adalah herba tahunan yang memiliki umbi lapis, tingginya hanya 12-40 cm, juga sering ditanam sebagai tanaman hias. Daun bentuknya linear hingga menjorong sempit, dengan ujung daun yang tajam; perbungaannya hanya terdiri atas 1 bunga, dengan pedisel yang sangat pendek atau tidak ada; daun gagang memiliki 1-2 tulang daun, memiki korona semu, dan stilusnya panjang melebihi stamen. Akar tanaman ini rasanya pedas, dan dapat menyebabkan iritasi. Di Jawa daunnya digunakan sebagai obat penyejuk untuk menghilangkan rasa panas, dan duhnya diteteskan ke dalam telinga untuk mengobati tuli.
Amaryllidaceae mewadahi herba tahunan dengan umbi lapis, umbi atau rizom. Daun tunggal, dengan pertulangan daun sejajar. Perbungaan letaknya terminal atau aksiler, bentuknya dapat berupa simosa, bulir, payung, atau bunganya soliter ; memiliki braktea dan seringkali dilengkapi dengan satu atau dua spatha. Bunganya biseksual, aktinomorf atau zigomorf. Tepal terdapat dalam 2 lingkaran, bentuknya bisa bebas atau bersatu membentuk suatu tabung, kadang-kadang dengan korona yang menyolok: stamen 6, bebas atau kadang-kadang bersatu; kepala sari melekat di bagian pangkal (basifixed), penekukan di bagian dorsal (dorsifixed), atau pelekatan di bagian tengah (medifixed). Ovari terbenam, terdiri atas 3 bakal buah, dengan plasenta yang letaknya aksiler; pada setiap bakal buah terdapat 1 sampai banyak ovul. Buahnya kapsul atau buni, merekah pada rongganya, atau merekah secara tidak beraturan. Bijinya membulat atau pipih, kadang-kadang bersayap.
Bakung-bakungan termasuk suku tumbuhan besar yang mewadahi kira-kira 60 marga mengandung sekitar 1300 jenis yang beraneka ragam dan tumbuhnya kosmopolitan, yaitu tumbuh alami di seluruh negara tropik dan daerah beriklim hangat lainnya. Sekalipun demikian secara keseluruhan jenis-jenis bakung mudah dikenali karena memiliki umbi lapis di dalam tanah, daun tunggal dengan pertulangan daun sejajar, bentuknya menjorong hingga lanset, tangkai perbungaan panjang, perbungaan berbentuk payung atau tunggal, memiliki daun gagang, kadang-kadang korona, dan ovari yang letaknya terbenam: buah yang berkembang di bawah tenda bunga, dan bukan di atasnya. Bakung-bakungan ini dipisahkan dari suku Alliaceae dan Agavaceae karena perbedaan letak ovarinya. Pada Alliaceae, ovari letaknya menumpang, sedangkan pada Agavaceae, anggotanya sebagian dengan bakal buah yang letaknya terbenam, dan sebagian lagi anggotanya dengan ovari yang letaknya menumpang. Selain itu ke tiga suku ini dipisahkan karena perbedaan pada alkaloid yang dikandungnya. Alkaloid tipe “lycorine” hanya ditemukan pada jenis-jenis yang termasuk dalam suku Amaryllidaceae, dan tidak pernah ditemukan pada jenis –jenis lain yang tidak termasuk dalam Amaryllidacea, jadi alkaloid yang dimiliki oleh tumbuhan dari suku Amaryllidaceae adalah karakter kunci dari takson ini. “Lycorine” ini memiliki efek alelopati yang sangat kuat, sehingga alkaloid ini mampu untuk menghambat perkecambahan spora dari tumbuhan paku-pakuan, dan mematikan protalium jamur yang tumbuh di dekatnya.
Selain itu, menurut penelitian, jika lycorine ini digabung dengan beberapa alkaloid lain seperti crinine, tazettine, dan galanthamine, yang diperoleh dari hasil ekstraksi beberapa jenis tumbuhan bakung-bakungan seperti Pancratium mantimum, Leucojum aestivum dan Narcissus tazetta, maka gabungan alkaloid ini dapat digunakan sebagai obat malaria, diduga alkaloid-alkaloid ini mampu untuk menghambat pertumbuhan Plasmodium falciparum. Gabungan alkaloid lain yang diperoleh dari hasil ekstraksi beberapa jenis bakung-bakungan seperti dari marga Crinum, Hippeastrum, Amaryllis, Narcissus, Scadoxus, Nerine, Sternbergia, Hymenocallis, Pamianthe, Peruviana, Phaedranassa, dan Habranthus, dapat digunakan sebagai “deer repellent”, yaitu senyawa yang dapat digunakan untuk mengusir rusa yang suka merusak tanaman; caranya yaitu dengan menyemprotkan senyawa aktif yang diperoleh dari gabungan alkaloid tadi pada daunnya. “Galanthamine” itu sendiri saat ini digunakan sebagai obat untuk mengobati penyakit Alzheimer. Alkaloid lain yang juga dimiliki oleh tumbuhan bakung-bakungan adalah “pancrastation “ (PST), yaitu suatu senyawa yang diperoleh dari hasil ekstraksi tumbuhan bakung-bakungan yang dilaporkan dapat menginduksi apoptosis pada sel-sel kanker tanpa adanya efek toksik pada sel yang normal. Hasil ini menunjukkan bahwa “phenanthridone skeleton” yang terdapat pada alkaloid alami pada bakung-bakungan merupakan elemen yang penting untuk menghancurkan sel-sel kanker ; kelompok metoksi yang terdapat pada senyawa tersebut yang sebenarnya berperan dalam meningkatkan daya ikat terhadap protein sel kanker, yang membuat senyawa ini menjadi lebih efektif sebagai bahan anti kanker.
Taccaceae
Agung Sedayu (Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Jakarta)
Saat kecil dan bemain-main di kebun, para orang tua di Jakarta sering berujar “Jangan main di pojok kebun sana, ada buah makanan ular, pasti ada ular juga di sana”, sambil menunjuk kepada tumbuhan dengan perbuahan yang berwarna oranye cerah, kelihatan mencolok dari kejauhan. Tentu saja hal tersebut tidak benar, karena tidak ada satupun dari keluarga ular yang termasuk dalam kelompok herbivora. Namun tumbuhan yang termasuk dalam marga Tacca telah memperoleh reputasinya. Tidak banyak anak-anak yang mengenal nama tumbuhan berbuah oranye cerah kecil-kecil tersebut. Kami hanya mengenalnya sebagai “tumbuhan makanan uler”. Bahkan nama daerah marga tumbuhan tersebut, seperti gadung tikus (Indonesia), kumis kucing, kotok bongkok (Sunda), iles-iles, kemendulan, ceker ayam, trenggiling mentik (Jawa) untuk Tacca palmata; kacondang (Sunda), kecondang, condang (Jawa) untuk T. leontopetaloides; dan puar lilipan (Batak), jangat baung (Indragiri), kumis ucing dan curug lukur (Jawa) untuk T. integrifolia-pun terdengar cukup asing. Sesungguhnya, tumbuhan yang kurang lazim dikenal anak-anak Jakarta tersebut termasuk jenis tumbuhan yang cukup memiliki nilai penting, seperti T. leontopetaloides yang dibudidayakan oleh masyarakat di negara-negara tropis dari Afrika hingga Kepulauan Pasifik untuk umbinya yang mengandung karbohidrat sebagai sumber pangan.
Kecondang atau Tacca leontopetaloides (L.) O.K. adalah tumbuhan terna (herbaceous) menahun dengan tinggi dapat mencapai 2 m. Tumbuhan ini memiliki umbi membulat-gepeng atau menjorong lebar, berkulit tipis, halus, berwarna putih saat muda, saat tua kelabu atau coklat, berair, tumbuh hingga 50 cm di dalam tanah dengan ronga di bagian atas yang mengeluarkan daun; setiap tahun umbi akan digantikan oleh umbi samping baru. Pangkal daun dan pangkal perbungaan dikelilingi oleh sebuah daun khusus (cataphyll) berbentuk memita-melanset. Daun mirip sekali dengan daun iles-iles dari marga Amorphophallus (Araceae) yang kelihatan sebagai daun majemuk, 1—3 daun pada satu musim berdaun, obovate lebar, berbagi menjari menjadi 3 segmen utama, setiap segmen bercuping menyirip, bertakuk, hingga membagi menjadi banyak segmen sekunder; cuping atau segmen sekunder bundar, melancip hingga memita. Perbungaan 1 atau 2 dengan bunga sebanyak 20—40 tiap perbungaan, tangkai bunga berrongga. Bunga didukung oleh daun pembalut dan daun pembalut membenang; daun pembalut kadang hanya pada sisi berusuk dari tangkai bunga; daun pembalut membenang berjumlah 20—40, menjuntai hingga panjang 25 cm, ungu tua hingga coklat kehitaman. Bunga merunduk, kuning muda, hijau kekuningan atau kehitaman. Tabung tajuk umumnya berdaging dengan tepi menyelaput, berkajang, menjorong hingga bundar telur. Benang sari putih hingga ungu. Buah biasanya bundar, menggantung, saat masak berwarna jingga tua. Biji banyak dengan testa memampung putih.
Kecondang kadang sulit dibedakan dengan iles-iles (Amorphophallus) yang memiliki bentuk daun yang sangat mirip. Kedua jenis ini dapat dibedakan dengan melihat tangkai daunnya. Kecondang memiliki tangkai daun yang berusuk sedangkan iles-iles rata. Kecondang memiliki pola pertumbuhan musiman. Pada musim pertumbuhan, umbi utama akan menumbuhkan umbi samping yang tumbuh ke arah samping-bawah. Umbi ini nantinya akan menggantikan umbi utama, namun tetap dalam keadaan dorman setelah daun dan bagian yang tumbuh di permukaan tanah mati, dan baru aktif pada musim pertumbuhan baru. Umbi-umbi sekunder juga mungkin muncul dari atas umbi yang tua dan tumbuh ke samping-bawah. Proses ini membutuhkan waktu 8—10 bulan dengan 2—4 bulan dormansi. Perbungaan, perbuahan terjadi sepanjang tahun, namun matinya daun dan bagian tumbuhan yang ada di atas permukaan tanah terjadi antara Desember dan Maret.
Kecondang tersebar luas di dunia lama dan dunia baru, Afrika barat terus ke Asia Tenggara, seluruh Malesia, hingga Polynesia. Asal kecondang tidak diketahui dengan pasti, namun diduga memang merupakan tumbuhan asli Asia Tenggara. Jenis tumbuhan ini nampaknya tidak membutuhkan persyaratan tinggi untuk hidup seperti iklim, kondisi hara tanah dan kondisi vegetasi sekitar; namun jarang ditemukan di hutan primer dengan naungan yang lebat. Umum ditemukan di daerah pantai di bawah 20 m, hingga 1100 m. Bagian di bawah permukaan tanah mulai mati pada bulan Desember hingga Maret. Biji disebarkan oleh arus air laut karena biji yang dilindungi oleh testa yang berstruktur seperti spons yang mampu mengapung. Penyebaran juga dilakukan oleh burung dan tentunya juga manusia, karena kecondang mempunyai nilai penting bagi kehidupan manusia.
Umbi kecondang dimanfaatkan secara tradisional sebagai sumber karbohidrat. Dari umbi diperoleh tepung untuk bahan makanan. Untuk dapat dimakan, umbi Tacca harus direbus hingga beberapa kali untuk menghilangkan senyawa pahit (Taccaline) yang bersifat racun. Untuk memperoleh pati dengan konsentrasi terbaik, tumbuhan ini harus ditunggu hingga daunnya mulai mati, saat konsentrasi karbohidrat dalam umbi paling tinggi. Setelah dipanen, diparut, disaring patinya. Pati yang diperoleh dari pengolahan umbi digunakan untuk membuat roti, pasta dan puding. Masyarakat tradisional Indonesia mengolah pati dari umbi kecondang dengan gula, santan, buah, terigu dan lain-lain untuk membuat penganan-penganan yang khas dan lezat. Pati yang telah dimasak dapat dicerna dengan mudah oleh penderita masalah pencernaan. Di Fiji, pati yang belum dikeringkan dibungkus daun dan dipendam dalam tanah hingga terjadi fermentasi, sebelum dimakan. Di Samoa pati dari tumbuhan ini malah digunakan untuk lem untuk membuat pakaian dari kulit kayu. Tangkai buahnya digunakan sebagai anyaman topi dengan kualitas yang sangat baik. Di India digunakan sebagai obat anti diare. Di Pulau-pulau Pasifik sering dibudidayakan dengan volume sangat ekstensif. Menurut masyarakat, umbi dapat mencapai ukuran sebesar kepala.
Budidaya kecondang secara tradisional tersebar luas di masyarakat tropis, namun jenis ini tidak diperdagangkan secara komersial. Setelah diperkenalkannya singkong, maka di berbagai daerah penggunaan kecondang sebagai makanan pokok mulai ditinggalkan, dan sekarang hanya dikonsumsi pada saat paceklik. Dalam 100 g basah, umbi kecondang dapat menghasilkan hingga 30 g pati yang berwarna sangat putih, mirip dengan tapioka. Analisis tentang kandungan kimia kecondang menunjukkan kandungan 5,1% protein, 0,2% lemak, 89,4% karbohidrat, 2,1% selulosa, 3,2% abu, 0,27% Kalsium, 0,2% Fosfor. Senyawa pahit yang terkandung dalam umbi kecondang setelah dianalisis, selain mengandung Taccaline juga mengandung b-sitosterol, alkohol cerylic dan steroid sapogenin.
Jenis lain dari suku Taccaceae yang mungkin lebih dikenal banyak orang adalah Tacca palmata Bl. yang kami, anak-anak kecil di Jakarta dulu menyebut buah/tumbuhannya sebagai “buah makanan uler”. Nama Indonesia resmi untuk T. palmata Bl. adalah gadung tikus, atau kumis kucing, kotok bongkok (Sunda), iles-iles, kemendulan, ceker ayam dan trenggiling mentik (Jawa).
T. palmata adalah tumbuhan terna menahun berukuran kecil, hingga tinggi 75 cm. Rimpang dari tumbuhan ini berukuran kecil, menjorong. Daun tunggal 100—30 cm x 15—45 cm, berbagi menjari menjadi 3—7 segmen, pangkal menyempit, ujungnya meruncing; tangkai daun solid/tidak berronga. Perbungaan payungan; tangkai perbungaan solid; daun pembalut (involucral bract) 4 buah; daun pembalut membenang (filiform bract) tidak ada. Bunga 8—25 tiap perbungaan; tajuk ungu tua-coklat; buah buni oranye atau merah terang, berdiameter 8—11 mm. Tacca palmata tersebar di Asia daratan, Asia Tenggara, Filipina hingga Papua bagian barat. Jenis ini ditemukan dengan mudah sebagai anggota vegetasi sekunder, di pingir hutan atau kebun-kebun di bawah naungan pada ketinggian 0—1000 m dpl.
Di penjual jamu, umbi T. palmata disebut sebagai temu giling, digunakan sebagai tonikum dan untuk mengobati pembengkakan, gigitan ular, sakit lambung, mematangkan bisul, juga luka gores. Tangkai daun digunakan sebagai obat untuk sakit perut. Di Filipina digunakan oleh perempuan yang mengalami sakit pada saat menstruasi (Heyne 1927, Jukema &Paisooksantivatana 1996).
Seluruh marga Tacca termasuk dalam suku Taccaceae. Posisi taksonomi Taccaceae selalu menjadi tanda tanya. Suku ini dianggap berkerabat dengan Dioscoreaceae dan Amaryllidaceae dan juga dengan Aristolochiaceae Velloziaceae, Apostasiaceae an Phyllidraceae. Namun pada sistem APG II (2003), Taccaceae dianggap merupakan anggota dari suku Dioscoreaceae, dan kemudian digabungkan dalam suku tersebut. Bunga Taccaceae menunjukkan sindroma sapromyofili dan sering berfungsi sebagai jebakan sehingga lalat tidak dapat kabur dari dalam bunga.
Suku Taccaceae adalah kelompok tumbuhan daratan, tegak, menahun, biasanya herba rosulate atau scapose. Rimpang mengumbi (sehingga sering disebut sebagai umbi saja), solid, berpati, bundar hingga memanjang, dengan pertumbuhan pucuk atau dengan titik tumbuh yang berselang. Daun hingga 13 helai, bertangkai, tepi rata, bercangap menyirip, berbagi menjari atau bertakuk menjari dan bertakuk menjari dengan anak daun berbagi menyirip; basah (herbaceous) hingga melontar (chartaceous); penulangan daun menjari atau menyirip, vena menjala; tangkai daun tegak, merusuk (ribbed), di bagian distal bersaluran (canalliculate) gundul, dengan pangkal berselongsong, solid, jarang yang berronga. Perbungaan payungan; tangkai perbungaan tunggal, solid, sangat jarang berrongga, tegak, merusuk (ribbed), pada bagian distal bersaluran (canalliculate); daun pembalut (involucral bract) biasanya 4 (4—24 pada T. leontopetaloides) dalam 2 lingkaran, basah, selalu gepeng, tepi rata, dengan vena sejajar atau melengkung. Daun pembalut membenang (filiform bract) jika ada berjumlah sama dengan bunga, gugur setelah antesis. Bunga aktinomorf, biseksual, epigin, dengan 6 cuping dalam 2 lingkaran, menyirap (imbricate) saat masih kuncup, dengan warna gelap, dengan vena sejajar atau melengkung; benang sari 6 pada tabung mahkota, epipetalus; tangkai sari pendek dan memipih, tepi berkeluk masuk (inflexed); bakal buah berruang 1, berkarpel 3, berbentuk pyramid terbalik, berrusuk-6, dengan 3 plasenta parietal; bakal biji apotropus-anatropus berjumlah banyak; tangkai putik 1 dengan sayap, ujungnya dengan 3 cuping berbentuk jantung terbalik. Buah buni, dengan perikarp berdaging, berrusuk-6, jarang merekah. Biji memenuhi buah, 10—tidak terhingga (Drentz 1976).
Dioscoreaceae
Agung Sedayu (Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Jakarta)
Purnomo (Fakultas Biologi UGM)
Sudah sejak lama masyarakat tradisional Indonesia mengenal istilah ubi tidak mengacu pada ubi jalar (Ipomoea batatas = Convolvulaceae). Jauh sebelum ubi jalar orang Indonesia mengenal istilah ubi atau uwi melekat pada jenis-jenis tumbuhan anggota suku Dioscoreaceae. Salah satu jenis suku Dioscoreaceae adalah Dioscorea alata L. yang dikenal dengan nama ubi (Sunda), uwi (Jawa) atau lame (Sulawesi).
Dioscorea alata L atau Uwi adalah tumbuhan semusim (annual), berupa terna yang gundul, memanjat hingga 10 m. Sistem perakaran serabut, paling dalam hingga 1 m. Tumbuhan ini memiliki umbi, biasanya satu buah, kadang sangat besar, berbentuk silindris, membulat atau hampir piramida atau bentuk-bentuk lain; umbi kadang ditemukan hingga kedalaman 1 m; permukaan umbi coklat atau hitam, dan bagian dalamnya berwarna krem atau keungu-unguan. Batang membelit kearah kiri, tidak memiliki duri, namun kasar atau berbintil di pangkal; potongan melintang batang berbentuk segiempat dan biasanya dengan sayap di sudut-sudutnya. Di ketiak daun sering terdapat siungan dengan jumlah beragam. Daun tersusun berseling di pangkal batang, makin ke atas berhadapan, berbentuk bundar telur yang hampir menganak-panah atau hampir menombak, meruncing, dengan 5 tulang daun; tangkai daun kadang sepanjang helaian daun, pangkal berkuping. Uwi berumah dua, tumbuhan jantan dan tumbuhan betina hidup terpisah; perbungaan jantan berbulir, perbungaan betina berbulir tunggal. Banyak kultivar yang sepanjang hidupnya dalam fase vegetatif, tidak berbunga. Buah berupa kapsul menjorong bersayap-3. Biji bundar, bersayap. Jenis tumbuhan ini merupakan kultigen, yaitu hanya dikenal dari budidaya manusia, tidak pernah diketahui populasi liarnya.
D. alata memiliki kultivar yang sangat banyak, tercatat hingga 235 kultivar. D. alata mudah dibedakan dari jenis Dioscorea yang lain karena batangnya yang berbentuk segi-empat dan bersayap. Uwi adalah jenis tumbuhan asli Asia Tenggara, tempat jenis ini mulai dibudidayakan manusia. Jenis ini sangat luas dibudidayakan, di seluruh Asia, bahkan di seluruh daerah tropika basah. namun tidak tercatat diperdagangkan secara komersial. Uwi tumbuh dengan baik di daerah-daerah dengan curah hujan cukup (hingga 1500 mm tiap tahun), dengan waktu dormansi umbi selama 2 bulan. Hampir seluruh populasi D. alata adalah populasi clone. Jika daun mulai menguning (4—5 bulan, hingga setahun penuh), maka umbi telah siap dipanen. Umbi uwi tidak dapat dimakan mentah, karena menimbulkan gatal pada mulut. Setelah umbi digali dari tanah, umbi direbus, dikupas tebal-tebal, dan dilumatkan, dimakan sebagai pengganti nasi di masa paceklik. Setiap 100 g uwi mengandung 70 g air, 1,1—2,8 g protein, 0,1—0,3 g lemak, 28,5 g karbohidrat, 0,6—1,4 g serat 0,7—2,1 g abu, 0,18 mg vitamin A, 0,09 mg vitamin B1, 0,03 g vitamin B2 dan 5—28 mg vitamin C. Penelitian menunjukkan bahwa kandungan gizi pada D. alata lebih superior dibandingkan bahan pangan yang berasal dari akar lainnya. Jenis ini mengandung protein 7,4%, pati 75,6% dan vitamin C 13.0—24.7 mg/100g berat basah, sehingga layak dikembangkan sebagai sumber makanan sehat di negara-negara tropis.
Jenis lain yang cukup terkenal adalah gadung (Dioscorea hispida Dennst.) yang penganan olahan umbinya mudah diperoleh di toko-toko sebagai keripik gadung. Gadung biasanya tumbuh liar, namun sering juga ditanam. Satu individu dapat memiliki hingga 50 buah umbi dengan ukuran cukup besar. Batang beronak (atau tidak), membelit ke kanan; tanpa siungan di ketiak daun. Tumbuhan ini berdaun tiga; anak daun yang tengah bulat telur sungsang atau menjorong; dengan 5 tulang daun; tiga tulang daun tengah dari anak daun yang tengah mencapai ujung daun; daun lateral membundar telur miring; tangkai daun hingga 25 cm; anak tangkai daun hingga 20 cm. Perbungaan jantan membulir; bunga kuning, sangat wangi; duduk; benang sari fertile 6. Perbungaan betina membulir, menggantung; bunga berjauhan, duduk; bakal buah berbulu balig lebat. Buah kapsul, berkeluk balik, dengan pangkal tumpul hingga rata, dan ujung yang membundar, coklat atau kuning saat masak. Biji hanya bersayap di ujung saja. Umbi gadung tidak dapat langsung dimakan setelah digali, karena mengandung senyawa yang beracun (Dioscorine).
Orang Bali memiliki cara yang paling efisien untuk menghilangkan racun. Umbi segar dipotong kecil-kecil, dilumasi abu dan dibiarkan. Potongan kemudian dibilas, dimasukkan dalam keranjang dan direndam dalam air laut selama beberapa hari (piantan). Setelah itu potongan-potongan itu disiram air dan dijemur. Perendaman dengan air laut, pembilasan dan penjemuran diulang selama 2-3 kali. Sebelum dimakan umbi tersebut biasanya diuji coba pada ayam. Jika ayam kelihatan pusing, proses perendaman harus diulang sekali lagi. Jika pengolahan tidak sempurna, orang yang mengkonsumsinya dapat menderita pusing dan sesak. Orang Kalimantan Barat menggunakan umbi gadung untuk mengobati lepra. Di tempat lain umbi juga digunakan untuk pengobatan sifilis dan obat kencing manis, bahkan untuk racun ikan. Orang Bali menggunakan bunga yang berwarna kuning bersama-sama melati untuk menghiasi rambut, karena wanginya yang semerbak. Gadung tersebar di seluruh Malesia hingga Papua. Juga di New Ireland. Populasi yang ada di Papua dan New Ireland kemungkinan besar adalah hasil penyebaran oleh manusia (proses budidaya). Tercatat paling tidak 4 varietas dari gadung, yaitu var. daemona, var. hispida, var. mollissima, var scaphoides. Di seluruh kepulauan Indonesia gadung adalah makanan pada saat paceklik paling penting.
Jenis-jenis dalam suku Dioscoreaceae adalah tumbuhan terna/herba atau jarang semak berupa liana dengan rimpang besar atau umbi. Umbi pada anak suku Dioscoreoideae memiliki asal usul yang berbeda, yaitu berasal dari hipokotil, ruas bagian atasnya, atau keduanya; umbi biasanya dilindungi jaringan gabus yang tebal, mengandung pati. Batang biasanya merambat dengan membelit tumbuhan lain atau merayap di atas permukaan tanah, alat perambat dapat juga berupa duri di batang. Berkas pengangkutan tersusun dalam dua lingkaran. Pada marga Dioscorea, batang dan akar memiliki berkas dengan lempeng perforasi menangga. Daun bersusun berseling, atau jarang berhadapan, tunggal atau majemuk menjejari dengan tiga hingga enam anak daun. Penulangan daun utama menjari dengan 3—13 tulang daun utama yang melengkung, dan urat daun sekunder dan tersier yang menjala. Beberapa jenis dengan embelan mirip penumpu. Siungan sering ditemukan di ketiak daun; siungan tersebut berasal dari batang dan berkontribusi penting dalam mekanisme perkembangbiakan vegetatif. Proses dormansi dan berkecambahnya bulbil diketahui diatur secara internal dengan bantuan zat pengatur tumbuh Giberelin. Perbungaan adalah malai ketiak, perbungaan terbatas, bulir atau tandan dengan sedikit atau banyak bunga. Bunga epigin, berkelipatan tiga, dan biasanya uniseksual; bunga didukung oleh daun gagang dan daun gantilan; daun tenda kadang menyatu menjadi struktur yang silindris. Dioscorea memiliki nektari septa. Benang sari 3 + 3, (3 mungkin termodifikasi menjadi staminodia); kepala sari introrse atau extrorse, dan merekah secara membujur. Bakal biji 3-ruang, tangkai putik dengan kepala yang bercuping-3; kepala putik kering. Buah biasanya kapsul triangular dan memiliki tiga-sayap, jarang samara atau buni. Biji tunggal atau beberapa, gepeng dan bersayap. Seluruh anggota suku ditandai dengan kandungan saponin steroidal dan kehadiran asam chelidonik (chelidonic acid); khusus marga Dioscorea memiliki alkaloid dioscorine. Terapi dioscorine pada manula berumur 65—82 tahun menunjukkan dioscorine berfungsi sebagai antioksidan dan menurunkan tingkat lipida peroksidasi serum, menurunkan trigliserida serum, menurunkan fosfolipid dan meningkatkan tingkat HDL, dan menunjukkan bahwa umbi Dioscorea merupakan bahan yang potensial untuk dijadikan suplemen makanan kesehatan sebagai antioksidan. Di pulau Jawa jenis Dioscorea tertentu seperti D. bulbifera L. (gembolo) dan D. pentaphylla L. (huwi sawut) merupakan tanaman yang mulai jarang ditemui, karena bukan sebagai makanan pokok, tetapi di beberapa daerah tertentu jika persediaan beras menyusut, umbinya dapat sebagai pengganti beras. Di wilayah perkotaan masyarakat jarang menanamnya karena kurang memiliki nilai jual dibandingkan tanaman lainnya seperti padi, jagung atau gandum sehingga tanaman ini menjadi terabaikan oleh masyarakat. Tanaman ini berpotensi untuk dikembangkan dan diolah menjadi makanan tambahan, sedangkan di daerah pedesaan, masih ditanam sebagai tanaman pangan dan juga dimanfaatkan untuk pagar halaman (Lingga, 1992).
Umbi-umbian mempunyai arti penting bagi masyarakat pedesaan di Kab. Sleman dan Kab. Bantul, Yogyakarta. Secara etnobotani dapat sebagai bahan pangan, bagian dari tanaman itu dimanfaatkan untuk pakan ternak, obat-obatan, pestisida dan indikator musim, bahkan elemen penting dalam upacara adat di pedesaan. Umbi-umbian yang dijadikan sebagai indikator musim karena sensitif terhadap perubahan iklim di lingkungannya. Pada saat tunas umbi-umbian ini bersemi merupakan pertanda bahwa awal datangnya musim penghujan dan dipakai sebagai penanda memulai kegiatan mengolah lahan untuk menanam padi, sedangkan upacara adat Gumbreg ini menggunakan bermacam-macam jenis umbi-umbian untuk kelengkapannya sebagai wujud rasa syukur atas ternak dan hasil pertanian yang melimpah (Ariesta dkk., 2004).
Pemanfaatan tanaman Dioscorea sekarang ini sudah mulai jarang. Hal tersebut disebabkan umbi Dioscorea kurang bernilai jual tinggi di pasaran dan kalah bersaing dengan ubi jalar atau ubi kayu. Padahal tanaman ini cukup potensial untuk dikembangkan sebagai bahan dasar produk olahan pangan. Hasilnya, terutama umbinya untuk diversifikasi pangan rakyat, juga mempunyai prospek sebagai bahan dasar industri pangan dan farmasi (Lingga, 1992). Misalnya makanan bayi, snack, crackers, jelly, serta aneka macam kue dan roti. Melalui proses fermentasi, umbi-umbian dapat diproses menjadi softdrink, isotonic beverage dan alkohol. Dari pati umbi-umbian dapat juga dibuat aneka produk farmasi seperti glucose, maltose dan sorbitol (Ariesta dkk, 2004).
Pemuliaan tanaman Dioscorea saat ini belum dibudidayakan, jenisnya yang ada di alam sebagian besar masih tumbuh liar. Beberapa jenis masih ditanam sebagai pagar halaman atau sebagai sumber pangan bila musim penghujan tiba, misalnya D. alata dan D. esculenta karena rasa umbinya yang layak untuk dikonsumsi. Tanaman ini bermanfaat sebagai sumber karbohidrat pengganti beras, jenisnya yang tumbuh liar ini mulai mengalami kelangkaan (Sastrapradja, 1977). Jika tanaman ubi-ubian ini dikembangkan menjadi produk bahan makanan, maka tanaman ini akan bisa dijadikan tanaman komersil di bidang pertanian (Lingga, 1992).
Jenis-jenis dari Dioscorea tertentu, misalnya D. alata, D. hispida, D. esculenta yang hanya dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya menjelang musim hujan, sedangkan jenis lain seperti D. pentaphylla dan D. bulbifera yang kurang disukai tidak dimanfaatkan, sehingga jenis tersebut mulai tersingkirkan keberadaannya.
Dioscorea mempunyai peranan penting sebagai sumber keragaman hayati (biological diversity) tumbuhan tersebut, sehingga perlu untuk diidentifikasi jenisnya dari pengkoleksian specimen yang hidup. Oleh karena, keanekaragaman Dioscorea yang belum diketahui secara menyeluruh, maka perlu diadakan penelitian spesies anggota familia Dioscoreaceae lebih lanjut untuk data dasar pemanfaatan dan sumber informasi tentang keberadaannya di alam. Keseluruhan suku Dioscoreaceae tersebar luas di daerah tropis dan daerah empat musim yang hangat.
Suku Dioscoreaceae dalam klasifikasi APG II termasuk dalam bangsa Dioscoreales. Suku Taccaceae dan Trichopodaceae dianggap sebagai salah satu anggota dari suku ini, sehingga suku-suku tersebut dilebur dalam Dioscoreaceae. Caddick dkk. (2002a) membuktikan bahwa dalam menentukan sistem klasifikasi dalam Doscoreales, data morfologi sama pentingnya dengan data molekular. Karakter-karakter seperti benang sari dan morfologi hipantium, karakter umbi, rambut kelenjar, anatomi selaput biji, dan kristal kalsium okasalat terbukti penting dalam menentukan hubungan kekerabatan dalam bangsa Dioscoreales. Bangsa Dioscoreales direvisi dengan anggota tiga suku: Burmanniaceae, Dioscoreaceae dan Nartheciaceae. Sementara suku Dioscoreaceae sendiri sekarang terdiri dari empat marga: Dioscorea, Stenomeris, Tacca (dulu dalam Taccaceae), and Trichopus (Caddick dkk. 2002b).
Flagellariaceae
Agung Sedayu
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Jakarta
Istilah owar -yang hanya dikenal oleh orang Sunda- mengacu pada tumbuhan dari jenis Flagellaria indica L. Batangnya yang merambat, beruas-ruas dan padat/solid (tidak berongga) mengingatkan orang pada perawakan batang rotan, sehingga beberapa suku menyebutnya sebagai rotan (walaupun sama sekali tidak berkerabat dengan rotan), seperti rotan yaki di Menado. Suku Jawa menyebut tumbuhan ini dengan nama rokrok.
Bagi siswa dan mahasiswa yang mempelajari morfologi tumbuhan, menarik karena merambat dengan menggunakan alat pembelit (sulur) khusus. Ujung daun tumbuhan ini menggulung dan membelit tumbuhan sekitar untuk menambatkan dirinya dalam memanjat.
Owar adalah liana menahun dengan panjang hingga 15 m. Batang pada pangkalnya berkayu, semakin keujung makin berupa terna yang basah, namun keras dan liat. Daun berseling, bulat telur, melanset hingga memita; pangkalnya membulat atau sedikit menjantung; pangkal tersebut mengecil menjadi sebuah tangkai daun yang memipih di bagian dorsal, sepanjang 3—10 cm. Upih menggalah sepanjang 1—7 cm, romping, dengan aurikula rembang yang sangat tipis, merusuk secara membujur; rusuk paling ujung menyempit menuju tangkai daun. Malai tegak, biasanya menggarpu dan terdiri atas dua cabang utama yang kemudian menyabang lebar. Bunga terdapat pada ranting perbungaan yang paling ujung, duduk pada bulir pendek. Bunga individual didukung oleh satu daun gagang yang pendek dan lebar, berwarna putih dan berbau. Daun tenda tegak, bundar telur, tipis. Tangkai sari dan kepala sari menonjol keluar. Bakal buah sempit; kepala putik tersebar. Buah pelok, agak bulat, licin, merah muda, biasanya dengan 1 ruang yang memiliki 1 biji yang fertil dan dua ruang lain yang steril.
Flagellaria indica L. tersebar mulai dari Afrika tropis, Sri Lanka, Asia Tenggara, Kepulauan Pasifik hingga Australia Utara. Jenis ini tumbuh dengan baik di hutan-hutan lembab dari permukaan laut hingga ketinggian 1500 m, sangat umum dijumpai di hutan-hutan dataran rendah sekitar mangrove.
Masyarakat tradisional menggunakan bagian batang yang cukup berkayu sebagai tongkat jalan, karena strukturnya yang mirip dengan rotan. Bagian batang yang lebih elastis digunakan untuk berbagai macam tali temali. Daun yang muda digunakan untuk mencegah rambut rontok. Daunnya kemungkinan mengandung astringen, sehingga rebusan daun dapat digunakan untuk mengobati luka-luka ringan.
Owar (F. indica L.) termasuk dalam suku Flagellariaceae Dumortier (1829) bersama dengan marga Hanguana dan selanjutnya digolongkan dalam bangsa Poales (APG 2003). Di Indonesia hanya terdiri dari dua jenis: F. indica L. dan F. gigantea Hook. f. Seluruh anggota Flagellariaceae adalah liana dengan batang yang padat/solid (tidak berrongga) yang muncul dari rimpang simpodial. Tumbuhan ini memanjat dengan bantuan sulur tergulung masuk di ujung daun yang menggulung. Ujung batang membagi secara dikotom, walaupun di ujung batang tidak terdapat sistem meristem aksilar. Mekanisme dikotomi ini masih menjadi pertanyaan, namun diduga bukan merupakan proses percabangan aksilar yang prematur. Daun berseling. Lamina hingga 30 cm termasuk sulur. Bunga dengan daun gagang, keluar satu persatu (tidak dalam buliran) pada perbungaan berbentuk malai terminal. Bunga biseksual, berkelipatan tiga, dengan dua lingkaran daun tenda petaloid. Benang sari dalam dua lingkaran, beberapa mungkin tereduksi menjadi staminodium. Kepala sari melekat pangkal-menganak panah dan merekah di tepinya. Serbuk sari mirip dengan suku rumput-rumputan. Bakal buah menumpang, berruang tiga. Tangkai putik pendek pecah menjadi tiga cabang kepala putik dengan permukaan yang berbulu. Buah pelok merah atau hitam hingga diameter 10 mm, dengan satu biji (jarang dua). Perhitungan kromosom menunjukkan Flagellariaceae memiliki x = 19.
PALEM-PALEMAN (Arecaceae)
Himmah Rustiami (Herbarium Bogoriense, Bidang Botani Puslit Biologi – LIPI)
Palem termasuk dalam suku Arecaceae yang berdasarkan perawakannya dibedakan menjadi dua habitus yaitu palem pohon dan palem merambat. Batang palem pohon seperti tiang dan kebanyakan berbatang tunggal. Beberapa palem juga bertunas pada bagian bawahnya dan membentuk rumpun. Ada juga palem yang batangnya terletak di bawah permukaan tanah sehingga terlihat sepintas seperti tidak berbatang contohnya pada salak. Sedangkan palem merambat lebih dikenal dengan rotan termasuk dalam anak suku Calamoideae. Pada batang palem terdapat titik ruas tempat melekatnya daun pada batang yang akan terlihat jelas ketika daun sudah gugur dan seringkali terlihat seperti lingkaran cincin pada batang.
Palem banyak dimanfaatkan sebagai tanaman hias karena penampilannya yang indah dan menarik serta pemeliharaannya yang mudah. Selain sebagai tanaman hias, beberapa jenis palem tertentu mempunyai potensi sebagai sumber karbohidrat berupa pati atau gula, seperti aren (Arenga pinnata), Nipah (Nypa fruticans), Sagu (Metroxylon sago) dan kelapa (Cocos nucifera). Selain itu juga sebagai sumber minyak seperti kelapa sawit (Elaeis guneensis) serta bahan bangunan seperti kelapa, nibung (Oncosperma tigillarium) dan wanga (Pigafetta fillaris) yang banyak dijumpai di kawasan timur Indonesia, bahan anyaman dan furnitur seperti rotan serta bahan penyegar seperti pinang sirih.
Arecaceae mewadahi tetumbuhan berupa palem pohon seperti pada kelapa, aren, atau berupa tumbuhan memanjat seperti pada rotan. Helaian daun palem ada yang menyerupai kipas atau menjari, seperti bulu atau menyirip yang terkadang terbagi lagi menjadi beberapa anak daun. Ujung daun ada yang meruncing, membulat, terkoyak ataupun menggerigi. Bagian dasar daun atau upih daun bisa menabung mengelilingi batang atau bisa juga upih daunnya hancur dan membentuk serabut. Kumpulan upih daun yang berbentuk tabung bisa membentuk crownshaft. Tangkai daun palem mempunyai panjang daun yang bervariasi. Tulang daunnya seringkali ditutupi sisik atau rambut tipis yang dikenal dengan istilah indumentum. Tangkai daun pada rotan umumnya berduri, yang terkadang dijumpai juga pada pertulangan daun maupun helaian daun. Khusus pada rotan terdapat alat memanjat yang dibedakan menjadi dua yaitu sirus dan flagella. Cirrus merupakan modifikasi dari anak daun sedangkan flagella merupakan modifikasi dari perbungaan. Kedua alat panjat ini merupakan karakter pembeda yang bagus digunakan untuk membedakan jenis karena kedua alat ini tidak akan dijumpai pada jenis yang sama, kalau rotan itu bersirus maka dia tidak berflagella demikian sebaliknya. Susunan anak daun pada tangkai daun bisa tersusun beraturan atau tidak. Kedudukan anak daun bisa menjuntai, mendatar atau tegak/mengarah ke atas. Perbungaan pada palem diselubungi oleh beberapa seludang berbentuk tabung (braktea). Seludang pertama disebut daun gantilan atau prophyl yang berbentuk memipih atau membulat. Tangkai perbungaan terdapat di dasar perbungaan yang tidak bercabang dan terdapat pula braktea tangkai bunga. Sumbu utama perbungaan dikenal dengan istilah rakis sedangkan anak tulang perbungaan disebut rakila. Palem ada yang berumah satu apabila bunga jantan dan bunga betina terdapat di satu pohon, ada juga yang berumah dua apabila bunga jantan dan bunga betina terdapat di pohon yang berbeda. Kedudukan bunga dalam palem merupakan karakter penting dalam kalsifikasi palem. Bunga palem bisa berupa bunga tunggal yang terdapat pada satu titik, selain itu juga bisa berupa dua bunga yang tersusun berpasangan (dyad), atau tiga bunga tersusun bersamaan (triad) yang tersusun dalam rumpun yang rapat. Buah palem umumnya simetris, apabila lebih dari satu biji berkembang maka dapat membentuk dua atau tiga cuping dengan satu biji di tiap cupingnya. Pada buah rotan dan sagu buah diselubungi oleh sisik yang tersusun rapi seperti pada buah salak.
Beberapa jenis palem yang dilindungi karena status kelangkaannya ataupun tingkat endemisitasnya tinggi, misalnya Johannesteijsmannia altifrons atau Daun Sang, Borassodendron borneensis, Caryota zebrina, Daemonorops draco dan masih banyak lagi. Palem dilindungi karena bersifat langka mungkin karena adanya eksploitasi besar-besaran, mempunyai nilai komersial yang tinggi dan tidak ada usaha budidaya sehingga keberadaannya di alam terancam, seperti pada rotan cacing dan rotan jernang atau D. draco. Bisa juga palem tersebut endemik daerah tertentu, yaitu mempunyai wilayah persebaran yang terbatas sehingga perlu dilindungi, karena meskipun tidak dieksploitasi jika habitat tumbuhnya rusak atau berubah dikhawatirkan akan mengalami kepunahan. Status kelangkaan tumbuhan dianalisis dengan menggunakan kategori dan kriteria tumbuhan langka yang diadopsi dari IUCN Red List Categories, dengan menyebutkan kategori dan kriteria serta inisialnya.
Cocos nucifera Linnaeus atau lebih dikenal dengan nama kelapa merupakan salah satu jenis palem yang paling penting di kawasan tropis baik pemanfaatannya secara lokal maupun secara komersial. Kelapa merupakan palem tunggal berumah satu dengan tinggi bisa mencapai 40 m. Batang kelapa jika sudah mencapai ketinggian tertentu agak mengurva tumbuhnya, permukaannya seperti bercincin bekas daun yang luruh. Persebaran kelapa sangatlah luas di seluruh kawasan tropis hingga kawasan hangat subtropis. Daerah asal kelapa belum diketahui dengan pasti hanya saja diduga berasal dari kawasan Pasifik Barat. Adapun ditinjau dari sudut ekologi, kelapa bisa tumbuh mulai dari garis pantai hingga ketinggian 900 m dpl serta akan berbunga di tempat yang lembab di daerah ekuator.
Caryota maxima Blume yang di Sunda mempunyai beberapa nama daerah yaitu Ruyung dan Suwangkung Besar merupakan palem tunggal yang berumah satu dengan tinggi 18 – 40 m. Panjang daun 2.5 – 3 m; panjang anak daun 13 – 17 pada tiap sisi rakis primer dengan ujung menggerigi, meruncing. Perbungaan Ruyung bercabang satu dan berbantalan jelas; rakila gundul, daun gagang rakila pendek, membulan sabit sampai menyegitiga; triad 160 - 260 pada tiap rakila. Rakila pada perbuahan 100 – 148 cm, buah menjorong melebar; berbiji satu (dua); hemisperikal; endosperma termamah. Di Jawa tumbuh di hutan pegunungan dataran rendah, pada tanah kering berbatuan sedangkan di Sumatra terdapat di perbukitan batuan karang dengan ketinggian 1100 – 1600 m dpl. Daerah persebarannya di Sumatra (Aceh) dan Jawa Barat. Kegunaan dan potensinya sebagai tanaman hias. Perbanyakan dilakukan dengan menggunakan biji. Tindakan pelestarian secara eks-situ telah dilakukan di Kebun Raya Bogor dan Kebun Raya Cibodas. Buah masak palem ini banyak dimakan oleh burung Rangkong dan Musang Jawa. Belum pernah dilaporkan adanya agen penyerbuk yang spesifik kecuali sejenis serangga kecil.
Ceratolobus pseudoconcolor Dransfield adalah rotan berumpun, berumah dua, panjang 10 m. Diameter batang 5 mm tanpa seludang daun, diameter dengan seludang daun 10 mm, jarak antar ruas 15 – 22 cm. Seludang daun ditutupi bulu-bulu halus keabuan pucat dan sisik kecoklatan, terdapat duri-duri halus mudah luruh. Panjang daun 1 m (sirus 30 – 50 cm); tangkai daun hampir tidak ada, bersisik dan berbulu halus mudah luruh, rakis berduri tegak, hijau pucat, ujung duri kehitaman. Jumlah anak daun 6 – 8 setiap rakis, hijau gelap di permukaan atas, agak pucat di permukaan bawah, mengetupat, tersusun beraturan, berseling, tepi daun bagian bawah berduri halus, tepi daun bagian atas menggerigi. Perbungaan: jantan dan betina hampir serupa, menggantung pada gagang bunga. Pangkal bunga bercabang dua hingga lima tingkat. Daun gagang pada cabang pertama menutup erat. Bunga jantan soliter, terdapat pada alveolus dengan diameter 0.5 mm. Bunga betina berdampingan dengan bunga jantan yang steril dengan diameter 1 mm. Buah masak menjorong-menyempit, sisik yang menutup buah 12 secara vertical. Biji tertutup sarcotesta tipis. Endosperma homogen; lembaga basal. Tempat tumbuh dan persebaran rotan ini adalah hutan perbukitan (600 – 900 m dpl) dan sepanjang hutan pinggir pantai. Jenis ini tersebar di Lematang Ulu, Palembang, Sumatra dan Jawa Barat. Kegunaan dan potensinya sebagai tanaman hias. Jenis ini bisa diperbanyak melalui biji. Tindakan pelestarian oleh Kebun Raya Bogor melalui upaya konservasi eks-situ terhadap jenis ini. Rotan ini sering sudah berbunga ketika mencapai panjang 1 m. Informasi tentang agen penyerbuk, agen penyebar serta masa perbungaan hingga saat ini belum pernah dilaporkan.
Daemonorops siberutensis Rustiami adalah enis endemik di pulau Siberut, kepulauan Mentawai, Sumatra Barat yang dikenal dengan nama daerah Rotan Taset. Rotan ini merupakan rotan berumpun, berumah dua, panjang 5 m. Diameter batang 9 mm tanpa seludang daun, diameter dengan seludang daun 17 mm, jarak antar ruas 7 cm. Seludang daun ditutupi bulu-bulu halus merah kehitaman, mudah luruh, terdapat duri hijau keabuan; mulut seludang daun berduri rapat, kehijauan. Panjang daun 100 cm; gagang daun 2 cm, berduri seperti pada rakis; rakis kekuningan, berduri tegak mengelompok. Jumlah anak daun 18 – 22 setiap rakis, melanset, tersusun agak beraturan, berseling; ibu tulang daun berbulu halus, kehitaman; sirus 100 cm, berduri seperti taji ayam; rakis dan sirus berduri soliter. Perbungaannya jantan menabung, memanjang, 47 cm. Daun gagang pada rakis primer menutup erat. Bunga jantan kecil. Bunga betina tidak diketahui. Perbuahan ditutupi bulu-bulu halus, coklat. Buah masak memanjang, sisik yang menutup buah 13 secara vertikal, berwarna merah kecoklatan, mengandung resin merah. Biji menyudut. Endosperma memamah; lembaga basal. Tempat tumbuh dan persebaran rotan ini adalah di hutan terganggu dengan ketinggian 150 m dpl. Resin merah pada kulit buahnya berpotensi sebagai bahan pewarna. Perbanyakannya melalui biji. Belum pernah dilaporkan adanya tindakan pelestarian pada jenis ini.
KELADI-KELADIAN (ARACEAE)
Nurhaidah Iriany Sinaga (Fakultas Kehutanan, Universitas Papua, Manokwari)
Amorphophallus yang dikenal sebagai bunga bangkai yang dapat mencapai tinggi 4 m sehingga dijuluki bunga raksasa merupakan bunga mengagumkan yang tergolong dalam keluarga Araceae. Keindahan utama Araceae terdapat pada daun dan batang jarang pada bunga, namun keindahan vegetatif ini menyebabkan kurang lebih 35 marga dibudidayakan secara luas sebagai tanaman ornamental dan tanaman hias antara lain Caladium, Pothos, Philodendron, Rhapidophora, Hamalomena, Scindapsus, Anthurium dan Aglaonema. Sementara Pistia dan Orontium dibudidayakan sebagai tanaman hias dalam kolam. Dewasa ini tanaman hias dari marga Anthurium dan Aglaonema menjadi primadona dengan harga yang fantastis sebab konon Anthurium atau bunga Flaminggo dapat mencapai harga setara sebuah mobil. Keindahan daun mengalahkan peran tradisional kelompok tumbuhan ini yakni sebagai bahan pangan yang dikenal dengan keladi yaitu dari marga Alocasia, Colocasia dan Xanthosoma yang merupakan makanan pokok pada beberapa kelompok masyarakat misalnya masyarakat Biak dan Arfak di Papua.
Selain makanan pokok, keladi dapat diolah menjadi berbagai panganan lain seperti kripik dan aneka kue juga dijadikan sayuran. Talas Bogor yang terkenal dan menjadi oleh-oleh khas kota Bogor adalah salah satu contoh. Kelompok keladi ini juga menjadi pakan ternak bebek dan babi. Kegunaan lain sebagai penghasil serat untuk kertas seni, kerajinan dan bahan obat-obatan. Beberapa marga seperti Dieffenbachia dan Philodendron ternyata mengandung racun yang mematikan apabila daunnya termakan, namun tidak banyak kasus terjadi karena kedua jenis ini lebih dikenal sebagai tanaman hias dan tak pernah ada yang jadi tanaman pangan sehingga salah makan hampir jarang terjadi.
Di seluruh dunia terdapat 2500 jenis dalam 105 marga. Herba kelompok ini memiliki umbi di dalam tanah, atau tumbuhan menjalar dengan batang merayap di tanah atau memanjat, ada juga marganya mengapung di atas air sebagai tumbuhan akuatik. Daun berseling, tunggal atau majemuk, kadang berkumpul di bagian bawah dan memiliki tepi daun yang berbagi hingga ke pertulangan utama, terdapat seludang daun. Bunga sangat kecil, tidak menonjol seperti daun, tersusun uniseksual atau biseksual, berkarang dalam bulir berdaging yang dilindungi oleh daun penumpu yang umumnya merah atau hijau dan berwarna lainnya. Bagi bunga uniseksual bunga betina akan selalu terletak pada bagian bawah bulir dan jantan di bagian atas, terkadang ada hiasan bunga di atas bunga jantan dan seringkali terdapat bunga steril diantara kedua bagian tersebut. Kelopak dan makota bunga tak ada, hanya sisik kecil, benang sari 2, 4 atau 8 yang membuka lewat lobang atau belahan, bakal buah superior atau terbenam pada permukaan tongkol, buah umumnya buni.
Persebaran utama di daerah tropis dan sub tropis namun banyak jenis dijumpai juga di daerah temperate karena banyak jenis yang sangat menyukai keteduhan dan kelembaban Iklim hujan tropis pada hutan-hutan di Indonesia menjadi surga bagi Araceae. Di Timika Papua yang memiliki curah hujan tahunan yang tinggi yakni 4000 - 5000 mm per tahun , dalam satu plot pengamatan seluas 4 x 4 m2 memiliki hingga 10 jenis Araceae yang tumbuh di bawah naungan sebagai penutup tanah dan tumbuh pada batang-batang kayu yang lapuk.
PANDAN-PANDANAN (Pandanaceae)
Nursahara Pasaribu (Universitas Sumatera Utara, Medan)
Nurhaidah Iriany Sinaga (Universitas Papua, Manokwari)
Mien A. Rifai (Herbarium Bogoriense Puslit Biologi LIPI, Bogor)
Pandan pudak – Pandanus tectorius Parkinson, dan pandan laut – Pandanus odoratissimus L.f., merupakan dua jenis tumbuhan yang sangat diminati oleh penduduk Asia Tenggara (dan juga orang-orang Asia Selatan, Asia Timur, Mikronesia, Polynesia, Melanesia serta Australasia). Susunan anatomi seratnya yang terdapat dalam batang dan daunnya menyebabkan tetumbuhan itu cocok untuk memasok bahan baku tali-temali dan anyaman guna berbagai keperluan.
Keduanya merupakan pohon berumah dua dengan batang tegak atau mendongak dan dapat mencapai tinggi 15 m (pada pandan laut), atau hanya sampai 8 m (pada pandan pudak) yang dari ketiak daunnya keluar akar tunjang yang kaku. Sekalipun merupakan tumbuhan monokotil, batang tadi bercabang secara trikotomi atau dikotomi, dengan lampang (bekas tempat melekatnya) daun yang jelas, sering membintul dan beronak. Daunnya memeluk batang, selalu tertata dalam tiga deret mengulir – yang terjadi karena perumbuhan batangnya yang mengulir (spiral) sehingga dalam bahasa Inggris pandan-pandanan terkenal dengan nama screw pine atau tusam yang menyekerup. Daun tadi menyabuk kaku, beralur dan berlipatan memanjang sehingga bak-M kalau dipotong melintang, dengan urat-urat penulangan sejajar memanjang. Daun dewasanya dapat sampai berukuran 300 x 9 cm pada pandan laut dan hanya 170 x 8 cm pada pandan pudak, ujungnya lambat laun semakin menyempit dan mencemeti panjang. Pinggir daun pandan laut berduri besar-besar berwarna putih atau pucat dan mengarah ke ujung daun, sedangkan pada pandan pudak durinya lebih kecil, hijau dan mengarah ke pangkal daun. Perbungaan jantannya berdaun gagang, terdiri atas bulir yang tersusun dalam tandan berjumlah lebih banyak dibandingkan dengan bulir perbungaan betina; bulir tadi tanpa tajuk dan semata-mata terdiri atas bunga berkelamin tunggal karena hanya merupakan falang atau segugusan benang sari, dengan serbuk sari putih atau kuning dan biasanya wangi. Perbungaan betina merupakan sebuah kepala (sefalium) membulat atau menyilinder, terdiri atas suatu massa daun-daun buah berbakal biji banyak (falang daun buah); kepala putik jelas berada di ujung masing-masing daun buah. Buah merupakan pelok majemuk sinkarp seperti buah nanas, dengan bagian bawah daun buah menyatu, eksokarpnya pejal mendaging, mesokarp atas berongga berisi lendir sedangkan mesokarp bawahnya berserabut dan mendaging dan endokarpnya menulang. Biji menggelendong atau membulat telur sungsang, dilengkapi selaput tipis dan mengandung endosperma. Biji tadi terus dipertahankan dalam endokarp yang tebal sehingga perkecambahannya selalu terjadi dalam buah.
Apakah benar pandan laut dan pandan pudak dapat diperlakukan sebagai dua jenis berbeda, atau hanya merupakan variasi satu jenis saja, masih belum disepakati para ahli. Pandan laut tersebar luas di pantai-pantai Sri Lanka, India, Asia Tenggara (terutama bagian barat Malesia) dan Taiwan serta Mikronesia. Ia merupakan jenis pandan liar yang mendominasi vegetasi pantai berpasir Indonesia, tetapi juga sering dibudidayakan di daerah pedalaman. Adapun pandan pudak tersebar luas di Kepulauan Pasifik, terutama Polinesia dan Melanesia, Australia, Papua, Maluku dan Filipina (atau Malesia timur). Persilangan di antara keduanya diduga terjadi tetapi ini masih memerlukan pengamatan lebih lanjut.
Di samping kedua jenis tersebut di Sumatra dan Semenajung Malaya terdapat mengkuang – Pandanus artocarpus dan Pandanus furcatus – yang seratnya lebih kukuh sehingga sering dipakai untuk anyaman penutup atap perahu dan pedati serta juga sebagai layar yang dapat tahan lama. Seperti halnya dengan jenis-jenis pandan yang lain masih banyak yang perlu diteliti tentang peri kehidupan alam mengkuang. Diketahui bahwa perkecambahan biji pandan secara umum sangat pelan, dan semai dari biji menghasilkan pohon yang tumbuh tegak, sedangkan pohon yang ditumbuhkan dari stek condong mendongak tetapi dapat berbuah 2-3 tahun lebih cepat. Percabangan tumbuh secara simpodial. Pohon jantan lebih jarang dijumpai dan lebih kecil ukurannya dibandingkan pohon betina. Penyerbukan dibantu oleh angin, tetapi peran serangga mungkin perlu pula diperhitungkan. Tanpa kehadiran pohon jantan, pohon betina pandan laut dan pandan pudak diketahui dapat menghasilkan biji terhidupkan sehingga mungkin bersifat apomiksis. Buah majemuk pandan dipencarkan oleh burung, mamalia (antara lain kalong), kepiting dan arus air laut (yang dapat memengaruhi daya kecambah biji). Buah tadi dapat mengapung karena mesokarp yang berserabut dan terdapatnya rongga kosong di sekitar biji.
Selain jenis-jenis penghasil serat tersebut, pandan wangi – Pandanus amaryllifolius Roxb. – adalah jenis pandan lain yang sejak dulu kala sudah dipakai secara luas oleh penduduk Asia Tenggara, terutama karena daunnya yang berbau harum. Minyak esensial yang terekstrakkan dari daunnya mengandung 2-asetil-1-pirolin memang wangi, serta juga memunyai kemampuan mengusir serangga. Kewangiannya itu dimanfaatkan untuk menambah kenikmatan rasa pelbagai macam masakan, unsur ramuan bunga wewangian, simplisia jamu, serta untuk pelengkap beberapa upacara tradisional. Sementara itu dari akar pandan wangi terisolasikan asam 4-hidroksibenzoat yang rupanya bertanggung jawab pada keampuhan penggunaannya sebagai obat anti diabetis. Senyawa itu berkemampuan pula menurunkan kadar kolesterol darah, serta meningkatkan aras insulin serum dan kandungan glikogen hati. Pandanus amaryllifolius merupakan contoh kultigen, yaitu tanaman yang hanya dikenal bentuk budidayanya sedangkan tumbuhan liarnya di alam bebas belum pernah ditemukan orang. Dalam jenis ini terdapat dua bentuk pertumbuhan yang sangat berbeda sehingga dulu dianggap merupakan dua jenis berlainan. Bentuk tumbuh yang pertama berperawakan kecil, berbatang ramping yang tumbuh mendongak dan menanjak, tingginya jarang melebihi 1.5 m, berakar udara di sepanjang tubuhnya. Daunnya ditata dalam tiga deret mengulir, menyabuk, berukuran sekitar 50 x 4 cm, melurus dan agak kaku, berlunas, pinggirnya mengutuh tetapi di bagian ujungnya yang berlipatan dan meruncing terlihat berduri-duri halus. Daun-daun itu tidak bertangkai dan tumbuh dengan memeluk batangnya. Sampai sekarang bunga pandan yang berbentuk tumbuh kecil tersebut belum pernah dijumpai.
Karena daunnya dipanen terus-menerus, bentuk tumbuh yang kecil itu selalu bertahan dan tidak pernah membesar. Akan tetapi bila dibiarkan tumbuh tanpa gangguan pemanenan, lama kelamaan bentuk tumbuh kecil ini akan menjelma menjadi bentuk tumbuh kedua (dulu disebut Pandanus latifolius Hassk.) yang besar dan berbatang tegak yang dapat bercabang serta mencapai ketinggian sampai 4.5 m. Daunnya juga tumbuh lebih besar berukuran sampai sekitar 200 x 8 cm. Perbungaan betinanya belum pernah dijumpai, sedangkan perbungaan jantannya yang jarang ditemukan terlihat menggantung terdiri atas beberapa bulir berukuran sekitar 30 cm panjangnya yang tersusun atas falang benang sari yang tumbuh berjejalan. Falang benang sari tadi membentuk tugu rata memadat terdiri atas 3-6 benang sari bertangkai pendek dengan kepala sari melonjong 2.5 mm panjangnya.
Spesimen berbunga pandan wangi seperti dipertelakan di atas hanya ditemukan di daerah Maluku, sehingga ada dugaan bahwa jenis ini berasal muasal dari kepulauan itu. Oleh penduduk tanaman itu lalu dibawa menyebar ke Papua Nugini, Filipina, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan terus ke Sri Lanka, India serta daerah lainnya lagi. Orang juga menduga bahwa iklim yang selalu basah tidak baik untuk pertumbuhan bentuk tumbuh yang besar sehingga bentuk tumbuh kecil lebih sering dijumpai.
Buah merah adalah buah Pandanus conoideus Lamk yang oleh penduduk Papua dijadikan sumber utama lemak untuk keperluan pangannya. Minyak yang dihasilkan oleh buah jorong berukuran besar yang berwarna merah itu dipercaya berhasiat obat untuk menyembuhkan pelbagai penyakit.
Pandanaceae mewadahi tetumbuhan berkayu yang berbentuk perdu atau pohon biasanya dengan akar tunjang (pada Pandanus), atau berupa tumbuhan memanjat dengan akar udara (pada Freycinetia). Daunnya kaku, menggaris atau menyabuk, berduri di pinggirnya, tertata dalam tiga (empat dalam Sararanga) deret yang mengulir. Bunga kecil-kecil, uniseksual, diesis, tersusun dalam perbungaan berupa bulir kompak yang didukung oleh daun gagang atau seludang mendaun, tanpa hiasan bunga. Benang sari banyak, tangkai sari bebas atau berpautan. Karpel biasanya berjumlah banyak, tersusun dalam sinkarp, dengan putik duduk yang bebas atau berpautan. Buah majemuk, lonjong atau membulat, tersusun atas pelok mengayu (Pandanus) atau membuni (Freycinetia).
Pandan-pandanan termasuk suku tumbuhan yang besar yang mewadahi 4 marga mengandung sekitar 900 jenis yang sangat beraneka ragam, dan sekarang hanya ditemukan di kawasan tropik dunia lama. Sekalipun demikian secara keseluruhan jenis-jenis pandan mudah dikenali karena daunnya yang lurus menyabuk atau memedang serta kaku dan selalu beralur memanjang sehingga seakan-akan berlunas. Pada umumnya daun-daun yang relatif berukuran besar itu tumbuh dalam 3 deretan yang mengulir dengan memeluk batang karena memang tidak bertangkai, untuk kemudian menggerombol di ujung cabang atau batangnya. Oleh sebab itu secara sepintas keseluruhan penampilannya terkadang mirip dengan Amaryllidaceae atau Bromeliaceae (waktu muda atau pada jenis yang tidak berbatang begitu jelas), atau Liliaceae serta Arecaceae (untuk jenis-jenis yang berbatang panjang dan jelas), atau seperti. Sebagai suatu kelompok alamiah pandan juga mudah dikenali karena hampir selalu berakar tunjang keluar dari ketiak daunnya, terkadang besar dan kaku serta dapat panjang sekali ukurannya. Kehadiran pandan di suatu habitat sering tampak mencolok oleh perawakannya yang khas tadi. Apalagi karena pola hidup pandan – bergantung pada jenisnya – sering berkawanan dan tumbuh meluas membentuk hutan belukar rapat sampai berhektare-hektare. Pada pihak lain jenis yang tumbuh menyendiri juga banyak jumlahnya.
PISANG-PISANGAN (Musaceae)
Lulut Dwi Sulistyaningsih (Herbarium Bogoriense)
Amin Retnoningsih (Universitas Negeri Semarang)
Pisang (marga Musa) merupakan salah satu dari dua marga (Musa L. dan Ensete Horan) dalam suku Musaceae. Beberapa ahli botani berpendapat bahwa nama berasal dari bahasa Arab yaitu mouz atau mouwz yang berarti pisang. Pisang-pisangan dikelompokkan menjadi pisang tanpa biji atau pisang budidaya yang terdiri atas kurang lebih 325 kultivar dan pisang liar yang terdiri atas kurang lebih 40 jenis. Kelompok ini dapat tumbuh dengan baik di dataran rendah terbuka dengan kelembaban yang cukup dan tidak tahan apabila tumbuh di daerah berair. Kawasan Indo-Malesia merupakan pusat keanekaragaman utama pisang-pisangan. Keunggulan pisang yang lain adalah berbuah tanpa musim, memiliki siklus hidup relatif pendek, dapat diperbanyak dengan teknik in vitro dan dibudidayakan secara massal. Hampir semua bagian tanaman pisang dapat dimanfaatkan untuk keperluan industri. Ditinjau dari segi manfaat dan nilai ekonominya, pisang merupakan tanaman budidaya yang berpotensi dalam diversifikasi makanan pokok sekaligus menjadi komoditas strategis untuk meningkatkan pendapatan dan devisa negara.
Jenis-jenis pisang dapat dengan mudah dikenali dari perawakannya yang berupa terna tahunan, batang semu mirip pohon (pseudostem) berbentuk silinder, pseudostem ini terdiri atas seludang daun yang saling membungkus satu sama lainnya, memiliki batang bawah tanah yang pendek (corm) tempat tumbuhnya rimpang-rimpang yang kemudian dapat tumbuh menjadi rumpunan anakan yang berada disekeliling pohon induknya. Daun pisang berkembang dari gulungan menjadi selembar daun besar, berbentuk lonjong, mempunyai tulang tengah penopang yang jelas dengan tulang daun yang nyata, tersusun sejajar dan menyirip. Perbungaan terminal, menjulur dari ujung batang semu, menjurai, semi menjurai atau bahkan tegak. Bunga tersusun dalam beberapa kelompok yang ketika masih muda berbentuk kerucut, padat, dan terbungkus oleh braktea yang tergulung bersama-sama atau agak menyirap, dan menggugurkan diri setelah buah mulai berkembang. Kelompok bunga terdiri atas 2 baris bunga, bunga pada bagian bawah adalah bunga betina atau hermaprodit, mengandung bakal buah yang ditudungi dua perhiasan bunga (tepal majemuk dan tepal bebas), tangkai putik dan lima staminoda. Bunga jantan berkembang secara proksimal, memiliki lima stamen fertil yang biasanya menggugurkan diri bersama braktea. Buah pisang bersifat partenokarpi, bakal biji lekas mengeriput sebelum terjadi proses pembuahan, bintik-bintik kecil berwarna cokelat dalam buah matang merupakan bakal-bakal biji yang telah abortif.
Pisang cici alas – Musa acuminata Colla, dan Pisang biji – Musa balbisiana Colla, merupakan nenek moyang dari pisang-pisang budidaya yang ada saat ini. Keduanya masuk ke dalam seksi Musa dengan jumlah kromosom 22 (2n) dan mempunyai daerah persebaran yang cukup luas. M. acuminata Colla merupakan jenis dengan daerah penyebaran yang paling luas. Jenis ini tersebar dari India, Indonesia, Malaysia, Filipina, Sri Lanka, Thailand, Vietnam, dan Australia. Daerah pusat keanekaragaman jenis ini adalah di Indonesia dan Malaysia. Klon-klon diploid dari jenis ini telah dibudidayakan di Asia Tenggara. Sedangkan M. balbisiana Colla ditemukan mulai dari India, Myanmar, Thailand, Cina Selatan, Filipina, Niugini, dan New Britain. Meskipun bukan berasal dari Indonesia, jenis ini telah banyak ditanam di kebun-kebun. Genom dari kedua jenis tersebut menyumbangkan sifat genetis yang berbeda. M. acuminata Colla menyumbangkan sifat partenokarpi dan kesterilan, sedangkan M. balbisiana Colla menyumbangkan sifat ketahanan terhadap kekeringan dan resistensi terhadap beberapa jenis penyakit. Persilangan antara pisang diploid yang bisa dimakan dengan dua jenis pisang liar ini telah menghasilkan pisang budidaya yang bersifat triploid. Varietas-varietas triploid kemungkinan berkembang melalui restitusi kromosom, karena varietas ini lebih subur daripada yang diploid, sehingga menjadi sangat dominan. Persilangan terbuka membentuk silangan-silangan yang diploid, triploid, dan tetraploid terus berlangsung. Turunan-turunan dari jenis M. acuminata Colla yang banyak digemari adalah dari kelompok AAA yaitu pisang ambon (”Gros Michel”), pisang ambon lumut (”Dwarf Cavendish”), dan pisang berangan. Turunan M. balbisiana Colla dari kelompok ABB, seperti pisang kepok (”Bluggoe”), pisang siem (”Pisang awak”), dan pisang cepatu banyak ditemukan di daerah beriklim kering di Indonesia, seperti di daerah Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan Maluku.
Berbeda dengan M. balbisiana Colla yang mempunyai batang semu kokoh, hijau, atau hijau kekuningan tanpa bercak cokelat, M. acuminata Colla mempunyai batang semu ramping bebercak cokelat. Keduanya mempunyai tinggi sekitar 4-6.5 m, helai daun lonjong, pangkal berbentuk jantung, berwarna hijau, pada M. acuminata Colla kadang dihiasi bercak cokelat dibagian atas atau kedua sisinya, dan tangkai daun merah lembayung. Perbungaan menjurai atau horisontal kemudian menjurai, lokos pada jenis M. balbisiana Colla dan berbulu pendek halus pada jenis M. acuminata Colla. Dalam keadaan mekar, jantung M. acuminata Colla berbentuk bulat telur, ujung lancip, tergulung bersama-sama, lembayung atau hijau kekuningan atau kuning. Braktea menggulung ke belakang pada saat menua, menggugurkan diri ketika dewasa, berwarna merah lembayung. Buah silindris, ramping, ujung lancip, kulit luar tipis, daging buah kuning saat matang, lembut, manis. Biji bundar, pipih atau mampat, hitam, diameter 3-4 mm. Sedangkan M. balbisiana Colla berbentuk bulat telur melebar sampai menjorong, braktea menyirap dengan ujung tumpul, bagian paling ujung lembayung, kadang kehijauan atau kuning, permukaan luar agak hijau daun kubis, pada umumnya beralur melintang, permukaan bagian dalam sampai pangkal merah tua, beberapa braktea membuka pada saat yang sama. Buah bertangkai, lonjong, pada penampang melintang terlihat bersudut 4-5, kulit tebal, pada saat matang berwarna kuning, panjang 8-16 cm, tebal 3.5-5 cm. Biji banyak, berbentuk bulat bersegi tidak beraturan, berwarna hitam, diameter 0.4-0.6 cm.
Pisang hutan – M. borneensis Becc. dan pisang monyet – M. salaccensis Zoll, masuk kedalam seksi Callimusa dengan jumlah kromosom 20 (2n). Kedua jenis ini tidak tahan terhadap kekeringan. M. borneensis Becc. pertama kali dipertelakan dari Serawak, Malaysia serta ditemukan juga di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Jenis ini tumbuh liar di dataran rendah terbuka dengan tanah yang lembab, belum pernah ditemukan tumbuh di daerah pegunungan. M. salaccensis Zoll tumbuh liar di sepanjang lereng bagian barat Pegunungan Bukit Barisan di Sumatera, mulai dari Aceh sampai Tapanuli, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Jawa Barat. Ditemukan di hutan sekunder terbuka dari ketinggian 300 m sampai 1200 m dpl. Secara morfologi, kedua jenis ini sangat berbeda. M. borneensis Becc berukuran sedang, tinggi mencapai 4 m, diameter pangkal 15-17 cm dengan bercak cokelat. M. salaccensis Zoll mempunyai batang semu ramping, tinggi 1-3 m, diameter pangkal kurang dari 10 cm, dan tidak bebercak. Perbungaan M. borneensis Becc menjurai, kekuningan, bunga dalam satu baris, 4-5 bunga pada setiap braktea. Jantung berbentuk bulat telur melebar, braktea bundar telur, bagian luar berwarna kuning sampai lembayung pucat dengan ujung kuning kehijauan dan pangkal merah jambu, berkilau. Bagian dalam merah jambu muda atau putih. Braktea tersusun sangat menyirap, pada suatu waktu 2-3 braktea terangkat tetapi tidak menggulung. Sedangkan perbungaan M. salaccensis Zoll tegak, berwarna ungu, dihiasi dengan garis-garis melintang merah-jambu, bunga dalam dua baris. Jantung berbentuk jorong, sangat menyirap dengan ujung tumpul. Pada umumnya hanya satu braktea yang terangkat pada satu saat dan menggulung pada saat menua.
Selain jenis diatas, pisang dari seksi Australimusa dengan jumlah kromosom 20 (2n) yaitu pisang manila - M. textilis Nee, dapat ditemukan di Sulawesi Utara sebagai sumber serat. Pisang asli dari Filipina ini mempunyai kandungan serat dalam batang semunya yang secara fisik kuat, tahan lembab dan air asin, sehingga baik untuk digunakan sebagai bahan baku kertas berkualitas tinggi yang tahan simpan (seperti uang, kertas dokumen, kertas cek), kertas filter, pembungkus teh celup, bahan pakaian, pembungkus kabel dalam laut, serta tali-temali lainnya. Saat ini telah banyak penelitian yang dilakukan dalam rangka perbanyakan dan perbaikan kualitas serat dari jenis ini.
Pisang-pisangan yang banyak dimanfaatkan sebagai tanaman hias kebanyakan berasal dari kelompok Rhodoclamys dengan jumlah kromosom 22 (2n). M. ornata Roxb., M. uranoscopos Lour, dan M. velutina Wendl. & Drude merupakan jenis pisang hias yang dapat dijumpai di Indonesia. Ketiga jenis ini dikenal dengan sebutan pisang hias, bukan asli Indonesia, melainkan diintroduksi ke Indonesia melalui Kebun Raya Bogor. M. ornata Roxb. berasal dari Himalaya bagian tenggara, M. uranoscopos Lour asli dari Cina Selatan, Vietnam, dan Laos. Sedangkan M. velutina Wendl. & Drude berasal dari Assam. Pisang-pisang hias ini mempunyai penampakan morfologi yang menarik. Perbungaan jenis-jenis ini tegak dan bunga tersusun dalam satu baris. Ketika mekar, jantung pada M. ornata Roxb berbentuk bulat telur, lancip, tergulung bersama-sama. Pada saat menua, biasanya hanya satu braktea yang menegak dan tidak menggulung. Braktea berbentuk lanset, bagian luar merah jambu pucat dengan ujung berwarna kuning, agak hijau daun kubis, permukaan dalam berkilau dengan warna yang sama. Lain lagi dengan M. uranoscopos Lour, ketika mekar jantungnya sangat terbuka, braktea tidak gugur sampai beberapa hari, sehingga terdapat sekitar 20 helai braktea yang terbuka dalam satu kesempatan. Braktea berbentuk lonjong, kedua sisi berwarna merah cerah dengan bagian ujung berwarna kuning atau hijau. Sedangkan jantung pada M. velutina Wendl. & Drude agak berbentuk gasing, ujung lancip, biasanya akan gugur setelah menghasilkan bunga jantan. Braktea tergulung bersama-sama, permukaan luar merah jambu, pada saat menua braktea ini akan menggulung.
Perbanyakan pisang pada umumnya dengan menggunakan anakan, bonggol, maupun kultur jaringan. Kepadatan tanam tergantung pada jenis dan kultivarnya, biasanya berkisar antara 1000-3000 pohon/ha. Pisang-pisangan merupakan jenis yang rentan dengan penyakit dan hama. Penyakit Sigatoka kuning atau bercak daun yang disebabkan oleh Mycosphaerella musicola merupakan salah satu jenis penyakit yang paling berbahaya. Penyakit ini hanya dijumpai pada pisang yang menyebabkan kematian dini sejumlah besar pisang, dan bersifat endemik untuk Asia Tenggara. Penyakit lain yang sering menyerang tanaman pisang adalah penyakit layu Fusarium atau penyakit Panama dan penyakit layu bakteri. Penyakit Panama disebabkan oleh Fusarium oxysporum f. cubense, sedangkan layu bakteri disebabkan oleh Pseudomonas solanacearum. Serangga hama yang paling berbahaya adalah kumbang penggerek pisang (Cosmopolitis sordidus) yang berasal dari Asia Tenggara dan kini telah tersebar ke semua areal penanaman pisang. Penangkaran untuk memperoleh kultivar-kultivar yang resisten terhadap Sigatoka hitam, layu fusarium, dan nematoda dengan tetap mempertahankan kualitas buah dan hasil yang tinggi telah dilaksanakan di Nigeria, Honduras, dan Brazil.
Indonesia merupakan salah satu center of origin dan center of diversity pisang-pisangan. Kebanyakan pisang budidaya berasal dari pisang liar Musa acuminata dan M. balbisiana. Kedua jenis pisang liar tersebut berturut turut diberi simbol genom AA dan BB. Jenis liar yang memiliki fertilitas tinggi melalui persilangan sendiri, hibridisasi, mutasi dan seleksi berangsur-angsur kehilangan sebagian atau bahkan seluruh sifat fertilitasnya. Dari evolusi pisang liar tersebut dihasilkan pisang budidaya dalam berbagai komposisi genom dan tingkat ploidi. Secara alami umumnya terbentuk grup genom AA, AAA, BB, AAB dan ABB.
Mekanisme pembentukan kultivar yang kompleks menyulitkan identifikasi kultivar terutama untuk pisang hibrid. Karakterisasi dan evaluasi pada umumnya mengacu sifat ciri morfologi yang memiliki heritabilitas tinggi dan mudah diamati dengan mata telanjang. Data morfologi diperoleh dari pengamatan bentuk, ukuran dan warna dari batang semu, anakan, tangkai dan helaian daun, braktea, bunga jantan dan buah. Sifat ciri ini kebanyakan bersifat kualitatif, beberapa tidak memiliki batas yang tegas sehingga penafsiran data menjadi tidak objektif. Identitas kultivar menjadi terkendala dan akhirnya muncul banyak sekali nama, sinonima dan homonima. Kultivar yang sama memiliki nama yang berbeda, sebaliknya kultivar yang berbeda memiliki nama yang sama. Karakterisasi dan evaluasi kultivar yang bertumpu hanya pada sifat ciri morfologi dipandang tidak cukup memadai terutama untuk genom yang kompleks seperti pada pisang.
Dengan perkembangan teknologi molekuler yang begitu pesat, penentuan genom tidak membutuhkan waktu yang lama. Penanda RAPD dapat menghasilkan pola spesifik untuk membedakan M. acuminata dan M. balbisiana. Primer A17 menghasilkan dua pita DNA berukuran 600bp dan 100 bp. Primer D10 menghasilkan satu pita 320 bp yang hanya ditemukan pada M. acuminata. Primer A18 menghasilkan tiga pita berukuran 200 bp, 250 bp dan 300 bp yang hanya ditemukan pada M. balbisiana. Pita yang dihasilkan analisis AFLP juga dapat mengelompokkan kultivar pisang sesuai komposisi genomnya. Penanda molekuler lain yang cukup sederhana dan reproducible adalah mikrosatelit. Berdasarkan ukuran mikrosatelit pada dua lokus yaitu MaCIR108 dan Ma-3-90 grup genom setiap kultivar dapat ditentukan dengan lebih akurat.
Musaceae mewadahi kelompok tetumbuhan herba yang umumnya berukuran besar dan tinggi. Batang sesungguhnya pendek dan berada di dalam tanah disebut subang. Batang yang ada di atas tanah merupakan kumpulan pelepah daun yang berdaging. Ukuran helaian daun lebar berbentuk lonjong lanset, kadang-kadang berlapis lilin dengan ibu tulang daun yang nyata dan bertulang daun menyirip sejajar. Tangkai daun panjang dan pada bagian pangkal melebar. Pelepah mengelilingi batang membentuk batang semu. Akar tumbuh menyebar secara lateral. Satu pembungaan terminal muncul dari setiap subang, tangkai pembungaannya memanjang melalui bagian tengah batang semu. Bunga berbentuk tabung, bi atau uniseksual, setangkup tunggal, duduk pada sumbu brakhtea dan berkumpul menjadi pembungaan bulir majemuk atau bunga majemuk berbatas yang dilindungi seludang bunga. Perhiasan bunga tiga tambah tiga, petaloid. Benangsari berjumlah lima dan staminodia satu. Bakal buah tenggelam, memiliki tiga ruang dengan banyak bakal biji pada setiap ruang. Buah buni atau capsula.
Musaceae beranggotakan tiga marga, yaitu Musa, Ensete, dan Musella, Marga yang terakhir masih kontroversial, marga ini diduga bersifat monotipik. Jenis-jenis anggota marga Musa hidup tersebar di wilayah tropis. Berdasarkan jumlah kromosom dan karakter morfologi, marga Musa dibagi menjadi 5 seksi, yaitu Musa (Eumusa), Rhodochlamys, Callimusa, Australimusa dan Ingentimusa. Validasi sistem klasifikasi ini dipertanyakan karena 1) hibridisasi dapat terjadi antar seksi dan 2) sistem tidak mengakomodasi jenis-jenis yang memiliki sifat khusus. Hasil analisis AFLP menunjukkan bahwa pengelompokkan berdasar jumlah kromosom bersifat kuat dan teruji. Pemisahan seksi Rhodochlamys (n=x=11) dari seksi Musa (n=x=11) dan seksi Australimusa (n=x=10) dari seksi Callimusa (n=x=10) tidak didukung data AFLP. Tersebut. Variasi genetika yang ditemukan pada rumpun seksi Musa- Rhodochlamys dan rumpun seksi Australimusa- Callimusa ternyata jauh lebih besar daripada antara seksi Musa dengan Rhodoclamys dan antara seksi Autralimusa dengan Callimusa sehingga jenis-jenis yang tergolong seksi Rhodoclamys dapat digabungkan menjadi satu seksi dengan jenis-jenis yang tergolong seksi Musa (n=X=11). Jenis-jenis dari seksi Callimusa dapat digabung menjadi satu dengan jenis-jenis seksi Australimusa (n=x=10) dan jenis-jenis yang memiliki jumlah kromosom n=x=14 digolongkan ke dalam seksi Ingentimusa. Sebagian besar pisang budidaya merupakan keturunan seksi Musa seperti M. acuminata dan M. balbisiana, dan sebagian kecil yang lain merupakan keturunan dari seksi Australimusa.
EMPON-EMPONAN (Zingiberaceae)
Marlina Ardiyani (Herbarium Bogoriense, Puslit Biologi, LIPI)
Rimpang dari jenis keluarga Zingiberaceae (Empon-emponan) banyak mengisi dapur kita, antara lain Kunyit, Jahe, Langkuas, Kencur, Temu Kunci, dan Kapulaga. Disamping digunakan sebagai bumbu dapur, beberapa rimpang bermanfaat untuk obat seperti Temu Lawak, Temu Putih, Temu Giring, Lempuyang Pahit, Lempuyang Wangi, dan Lempuyang Gajah. Jenis-jenis yang memiliki bunga yang mencolok warnanya maupun wanginya, ditanam sebagai tanaman hias seperti Honje, Gandasuli dan Jahe Merah. Kandungan minyak atsiri dalam banyak jenis Zingiberaceae seperti Limonen, Eugenol, Pinen, Geraniol membuat beberapa jenis telah dikenal sejak jaman Yunani kuno.
Kunyit atau Curcuma longa L. banyak dikultivasi mulai dari India, Thailand, Malaysia sampai ke Indonesia. Warna kuning tua yang dihasilkan rimpang membuat kunyit digunakan dalam banyak jenis kuliner, disamping fungsi lain yaitu untuk menghilangkan bau amis. Pada jaman lampau, kunyit banyak dieksploitasi sebagai pewarna. Daun kunyit pun dapat digunakan untuk menghilangkan bau pada masakan ikan atau daging. Curcumin, zat yang terkandung dalam rimpang, diketahui mempunyai khasiat obat. Para ahli menduga asal-muasal kunyit berada di India, karena di sinilah keanekaragaman marga Curcuma terkonsentrasi. Kemudian, jenis ini ikut terbawa oleh migrasi orang-orang dari India ke wilayah Indonesia oleh karena kunyit merupakan salah satu unsur tanaman suci (sacred) yang harus dibawa kemanapun seseorang pergi dalam kepercayaan orang India.
Kunyit merupakan herba dengan rimpang yang menahun, berperawakan kecil dengan tinggi mencapai 1 meter. Batang semu yang merupakan kumpulan dari pelepah daun berwarna hijau muda yang tersusun berseling (distichous). Pelepah daun mempunyai ligula. Pada bagian bawah batang semu terdapat umbi berbentuk telur dengan umbi samping atau rimpang yang menyilinder dan melekat (sessile), menjari, bercabang-cabang berwarna coklat muda kekuningan. Irisan rimpang berwarna kuning tua hingga oranye, berbau khas kunyit. Di atas pelepah daun terdapat tangkai daun. Daun berbentuk lonjong atau menjorong, ujung daun melancip dan pangkal daun meruncing, tepi rata, berwarna hijau. Permukaan atas dan bawah daun gundul. Perbungaan terminal dengan tangkai sepanjang 10-40 cm. Pada beberapa jenis Curcuma, di kondisi tanah yang sangat subur, perbungaan terminal dapat diikuti oleh perbungaan lateral. Di atas tangkai bunga terdapat daun gagang (bracts) yang saling menempel melanset-menumpul. Tepi daun gagang bagian bawah melekat pada permukaan daun gagang di atasnya hingga membentuk cawan atau mangkuk yang tersusun menyirap. Daun gagang bagian bawah biasanya berwarna hijau keputihan, sedangkan daun gagang bagian atas berwarna putih atau pada beberapa kultigen berwarna merah jambu. Daun gagang berwarna ini sering disebut coma bracts. Di dalam mangkuk daun gagang, dijumpai bunga yang tersusun mengikal dilindungi oleh daun gantilan. Daun gantilan tidak berwarna atau bening. Daun gagang coma biasanya steril, tidak mengandung bunga. Bunga kunyit tersusun dari kelopak bunga yang menabung bercangap tiga. Mahkota bunga bagian bawah menabung, bagian atas bercuping tiga, yaitu satu di bagian atas dan 2 buah di samping. Mahkota bunga dan kelopak berwarna kuning. Bunga jantan terdiri dari sebuah bibir bunga atau labelum dan dua buah staminodia lateral. Labelum hampir membundar samar-samar bercuping tiga. Cuping tengah berbentuk bulat telur dengan ujung membelah. Bibir bunga diapit oleh staminodia lateral yang menjorong. Staminodia lateral ini lebih panjang dari kepala sari dan mengapit kepala sari yang terdiri dari dua buah ruang sari atau teka. Di sepanjang tangkai sari atau filamen terdapat tangkai putik atau stilus. Bunga betina terdiri dari bakal buah yang memasai dan stilus yang panjang dan sangat halus sehingga tidak dapat menopang dirinya sendiri. Ujung stilus diapit oleh kedua ruang sari dari kepala sari. Kepala putik agak berkelijak, muncul persis menumpang di atas ruang sari (lihat Gambar 1). Kunyit jarang ditemui dalam keadaan berbunga.
Kunyit mengelompok dengan Temu Lawak – Curcuma zanthorrhiza Roxb., Temu Giring – Curcuma heyneana Valeton dan Temu Putih – Curcuma zedoaria (Christm.) Roscoe, membentuk marga Curcuma. Jenis-jenis tersebut mempunyai kemiripan morfologi vegetatif maupun perbungaan yang sangat tinggi sehingga menyulitkan identifikasi pada spesimen herbarium. Karakter warna dan bau mempunyai peranan yang krusial pada identifikasi marga ini. Batasan jenis pada marga Curcuma masih belum disepakati para ahli. Kemiripan morfologi yang tinggi, kondisi jenis-jenis yang steril atau mandul (berbunga namun tidak berbuah) dan kromosom yang poliploid membuat para ahli menduga bahwa jenis-jenis tersebut merupakan hasil silang dari induk-induk yang fertil (berbunga dan berbuah) dan diploid. Induk-induk yang fertil dan diploid yang diduga merupakan tetua atau parental dari jenis-jenis steril poliploid dan kemungkinan banyak terdapat di India dan Indo Cina.
Jahe – Zingiber officinale Roscoe juga merupakan tanaman yang dibudidaya di seluruh dunia. Rimpang yang pedas banyak digunakan dalam minuman seperti ginger beer. Rasa pedas pada Jahe disebabkan oleh komponen zingerone dan shogaol, sementara aromanya disebabkan oleh minyak atsiri. Disamping itu, Jahe banyak digunakan dalam kuliner karena dapat menghilangkan bau anyir. Rimpang Jahe yang ditumbuk dan dicampur dengan minyak juga digunakan untuk obat rematik dengan cara dioleskan pada bagian yang sakit. Penggunaan internal Jahe sebagai obat antara lain untuk mengobati kembung dan kolik. Jahe dalam bentuk kering seperti biskuit Jahe dapat menjadi obat mual.
Tanaman Jahe berupa herba berbatang semu tegak, mempunyai daun berbentuk lanset hingga memita-lanset, tersusun berseling dalam satu bidang. Panjang daun sekitar 15-25 cm. Tinggi tanaman sekitar 0.5 sampai 1 m. Morfologi daun Jahe dapat mudah dibedakan dari daun Kunyit. Rimpang Jahe mempunyai wangi yang tajam dan pedas. Bagian dalam rimpang berwarna kuning muda keabu-abuan atau kuning pucat. Perbungaan muncul lateral keluar dari rimpang dengan tangkai bunga sekitar 15 hingga 25 cm. Pada ujung tangkai bunga terdapat daun gagang yang tersusun menyirap berbentuk telur atau menjorong dengan panjang sekitar 5 cm berwarna hijau pucat. Panjang kelopak sekitar 1 cm. Mahkota bunga berwarna kuning kehijauan. Bibir bunga berbentuk lonjong-membundar telur dan berwarna keunguan. Tanaman Jahe dapat tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 1.500 m di atas permukaan laut di daerah tropis.
Jahe mengelompok dengan Lempuyang - Zingiber zerumbet (L.) Sm. membentuk marga Zingiber. Susunan daun marga Zingiber dapat dengan mudah dibedakan dari susunan daun pada marga Curcuma. Perbungaan dan struktur bunga dari marga ini pun unik. Struktur bunga Zingiber terdiri dari kelopak bunga, mahkota bunga dan bunga jantan maupun betina yang kompleks. Staminodia lateral bertransformasi menjadi dua buah gigi kecil. Benang sari tunggal yang fertil mempunyai tangkai sari yang pendek diakhiri kepala sari. Kepala sari mempunyai jengger yang menabung dan memanjang.
Zingiberaceae mewadahi tumbuhan herba yang mempunyai rimpang atau batang yang biasanya tumbuh secara horizontal sepanjang atau di bawah tanah dan menghasilkan akar dan daun. Daun-daun tersusun distichous (dalam dua baris berseling pada satu bidang). Pelepah daun (sheath) dapat membentuk struktur yang menyerupai batang. Perbungaan merupakan kumpulan dari daun khusus (bracts atau daun gagang) yang menopang satu bunga atau lebih. Perbungaan seringkali mempunyai tangkai (stalk) dengan posisi terminal pada ujung rangkaian daun atau lateral terpisah dari rangkaian daun keluar dari rimpang jauh dari daun. Bunga Zingiberaceae yang seringkali berumur pendek, secara superfisial sangat menyerupai bunga Anggrek. Bunga ini sangat terspesialisasi dan biseksual. Kelopak bunga berbentuk tabung biasanya bergigi tiga. Mahkota bunga juga berbentuk tabung dengan tiga cuping. Cuping dorsal biasanya lebih besar dibandingkan dengan kedua cuping lateral. Cuping dorsal biasanya menutupi benang sari. Zingiberaceae hanya mempunyai satu buah kepala sari yang fertil, yang lain tereduksi menjadi embelan steril yang selalu membentuk bibir. Dua struktur lainnya dapat berupa helaian atau gigi kecil. Benang sari seringkali bertangkai dan diakhiri oleh kepala sari yang mempunyai beragam bentuk jengger. Bakal buah terletak inferior dengan kelenjar di atasnya yang memproduksi nektar untuk menarik penyerbuk. Stilus menghubungkan bakal buah dengan kepala putik. Kepala putik biasanya terletak pada bagian ujung kepala sari. Buah mempunyai warna yang bervariasi, halus, merusuk, berambut atau berduri, kering atau berdaging dan kadang-kadang membuka dengan 3 celah. Biji berwarna coklat atau hitam dan mempunyai selaput berdaging atau salut biji yang berwarna putih, oranye atau merah terang untuk menarik hewan dalam rangka memencarkan biji.
Empon-emponan termasuk suku tumbuhan yang besar yang mewadahi sekitar 60 marga mengandung sekitar 1.300 jenis yang sangat beraneka ragam. Persebaran Zingiberaceae meliputi daerah tropis Afrika, Amerika, India, Indo-Cina, kawasan Malesia sampai ke Kepulauan Solomon. Sekalipun demikian secara keseluruhan jenis-jenis Zingiberaceae mudah dikenali karena mempunyai struktur daun yang distichous. Namun, secara sepintas keseluruhan penampilan vegetatifnya terkadang mirip dengan Maranthaceae atau Cannaceae. Jenis-jenis Zingiberaceae yang mempunyai batang semu pendek terlihat mirip dengan anakan Musaceae.
ANGGREK- ANGGREKAN (ORCHIDACEAE)
Uway W. Mahyar & Diah Sulistyarini
(Herbarium Bogoriense, Puslit Biologi, LIPI)
Secara alami, anggrek-anggrekan berbagi tampilan dengan yang sekelompoknya dalam Monokotil: berkas pembuluh yang tersebar, pertulangan daun yang sejajar, bagian bunga terdiri dari tiga, bakal buah inferior, dan sebagainya. Bila kemudian kita bertanya, “jadi apa yang membedakan anggrek-anggrekan dari kelompok tumbuhan lainnya?”. Mengesankan, perbedaannya sedikit sekali. Kita dapat mendaftar beberapa tampilan yang ditemukan pada umumnya anggrek-anggrekan, tetapi hanya 3 tampilan yang khas pada semua anggrek-anggrekan. Bila hanya memiliki anggrek-anggrekan primitif yang mewakili, mereka mungkin sulit dibedakan dengan kelompok Liliaceae. Tetapi karakter penghubung yang masih ada menunjukkan anggrek-anggrekan primitif merupakan keadaan awal evolusi yang membedakan suku ini.
Perkiraan jumlah jenisnya sangat beragam. Beberapa pengarang memperkirakan 12.000 atau 15.000 jenis, lainnya memperkirakan mencapai 35.000 jenis. Kita betul-betul tidak tahu berapa jenis anggrek valid yang ada karena begitu sedikit kelompok anggrek-anggrekan telah diteliti dengan mendalam. Jumlah perkiraan dari yang sedikit teliti s/d yang kasar adalah mencapai 725 marga dan 19.192 jenis anggrek-anggrekan. Menimbang begitu banyak ketidak pastian, gambaran yang mendekati adalah antara 20.000 dan 25.000 jenis. Dari jumlah tersebut, diduga 5.000 jenis merupakan anggrek terestrial, 1.000 jenis dapat hidup secara teestrial atau epifit dan sisanya merupakan anggrek epifit.
Jumlah jenis anggrek ini mendapat penghargaan sebagai sebuah suku tumbuhan dengan jumlah jenis terbesar. Willis (1973), memperkirakan jumlah Orchidaceae sekitar 17.000 jenis, Compositae/Asteraceae 13.000 jenis, Leguminosae/ Fabaceae 12.000 jenis dan Gramminae/Poaceae 10.000 jenis.
Berdasarkan sumber pustaka terakhir, anggrek-anggrekan jumlahnya diperkirakan antara 17.000 – 35.000 jenis. Perhitungan baru-baru ini dalam memperkirakan jumlahnya semakin jelas, nama jenisnya hampir mendekati 19.000. Perkiraan terbaru telah ditentukan ada sekitar 19.500 jenis. Anggrek-anggrekan merupakan kelompok utama epifit, dan 73% anggota jenisnya merupakan epifit. Anggrek persebarannya sangat luas, dengan jumlah keragaman jenisnya terbesar, semuanya hampir termasuk epifit, terdapat di daerah tropis, dan khususnya di daerah gunung-gunung.
Keragaman ukuran perawakan anggrek-anggrekan sangat bervariasi, marga Vanilla diperkirakan merupakan tumbuhan anggrek terpanjang, batang berupa sulur yang cukup besar, dan memanjat bermeter-meter pada sebuah pohon atau tebing. Anggrek terbesar diperkirakan Grammatophyllum, G. speciosum dan G. papuanum memiliki batang yang tebal dengan panjang hampir mencapai 5 meter. Sebaliknya, beberapa jenis Bulbophyllum dan Platystele merupakan anggrek terkecil di dunia, ukuran pseudobulb-nya hanya beberapa mm saja. Anggrek P. jungermannioides (Amerika Tengah) merupakan yang terkecil, dan berturut-turut lainnya adalah B. odoardii (Borneo) serta B. minutissimum dan B. globuliforme (Australia), pada kedua jenis anggrek Australia ini, daunnya berupa sisik, peudobulb hijau yang berfungsi sebagai cadangan makanan dan untuk fotosintesa.
Anggrek-anggrekan adalah suku tumbuhan yang hidup kosmopolitan, wilayahnya di utara meliputi Swedia dan Alaska sampai dengan Tierra del Fuego dan P. Macquarie. Anggrek tidak dapat hidup di lingkungan padang pasir yang ekstrim, walaupun mungkin ditemukan di daerah-daerah Oase, pada duri kaktus di semak atau hutan. Seperti kelompok tumbuhan lainnya, anggrek banyak terdapat di wilayah sabuk tropis utara dan selatan. Tumbuhan anggrek diduga banyak tumbuh di hutan-hutan yang lebih kering, tetapi hanya untuk beberapa jenis anggrek saja. Anggrek banyak tumbuh dan tinggi keragaman jenisnya di habitat dengan curah hujan tahunan di atas 100 inches dengan tiada bulan yang mendapat curah hujan kurang dari 2 atau 3 inches, sebaliknya di tempat-tempat yang becek jenis anggreknya sedikit.
Dengan perkecualian dari beberapa marga yang sangat primitif, anggrek-anggrekan memiliki biji yang disebarkan oleh angin. Terkecuali, Apostasia, Selenipedium dan Vanilla, memiliki biji kecil namun relatif berat yang berkembang dari buahnya yang agak berdaging. Aroma Selenipedium dan Vanilla mengundang serangga atau binatang memakan buahnya dan menyebarkan bijinya. Batang tumbuhan anggrek beruas tempat dimana daun tumbuh, antar 2 ruas disebut buku. Jadi, bangun dari deretan buku-buku ini yang membentuk batang anggrek. Perawakan pertumbuhannya Simpodial dan Monopodial. Simpodial adalah yang memiliki titik pertumbuhan yang terbatas, dan suksesinya dilanjutkan dengan tunas aksiler baru. Adapun Monopodial adalah pertumbuhan yang ujung tunasnya memiliki potensi tumbuh tidak terbatas. Bentuk dasar pertumbuhan Monokotil adalah Simpodial.
Anggrek-anggrekan seperti halnya tumbuhan monokotil, tidak memiliki akar utama seperti halnya pada dikotil. Perakaran tumbuh banyak dari batang. Ketebalan akarnya beragam, namun tidak pernah kurus dan menyerupai serat seperti halnya pada kelompok monokotil lain. Perakaran anggrek berupa velamen, yaitu di bagian luar inti akarnya dilapisi sel berongga yang mampu menyerap air dan nutrisi dari lingkungan media tanah (terestrial) dan udara (epifit) sekelilingnya. Pada dasarnya, batang anggrek menyerupai batang jagung atau tumbuhan lili, atau batang tumbuhan monokotil pada ummnya. Batang anggrek dapat kurus dan mengawat (wiry), agak mengayu, atau lunak dan berdaging, seperti pada Vanilla.
Daun pada anggrek adalah organ bukan tunas yang tumbuh dari ruas, bentuknya dapat seperti sisik, pelepah atau seperti daun pada umumnya. Pada umumnya daun anggrek tersusun bersilangan bergantian di kedua sisi batang. Dalam banyak kasus pada batang pseudobulb hanya tumbuh daun tunggal, tetapi bila dilihat secara teliti kita akan mendapatkan sisik dan pelepah daun yang tumbuh pada node bergantian (distichous). Pertumbuhan dalam perlipatan dan penggulungan daun merupakan salah satu karakter yang sering dipergunakan dalam taksonomi anggrek. Ada beberapa anggrek yang bagian pangkal daun membentuk pelepah yang memeluk batang, tanpa organ ini bagian internode terlalu lemah untuk mendukung tumbuhan. Ada juga pelepah terbentuk tanpa daun, dan khususnya pada rhizome dan perbungaan, pelepahnya mungkin kecil. Tangkai daun adalah organ diantara pelepah dan lembar daun. Tangkai daun biasanya lebih kokoh daripada pelepah maupun lembar daun.
Perbungaan anggrek biasanya racemose, dengan bunga di ketiak pada rakis dan berbunga dari pangkal ke ujung. Ada beberapa anggrek yang bunganya mekar dari yang paling ujung dulu terus ke pangkal, seperti Orchis simia. Perbungaan dapat pula bercabang. Tipikal bunga anggrek adalah setangkup bilateral, artinya bila dipotong memanjang atas-bawah maka akan didapat seperti obyek dan bayangannya. Ini merupakan salah satu karakter pembeda dari anggrek, walaupun ada bunga lain yang seperti anggrek.
Bakal buah anggrek adalah inferior – pangkal dari bagian-bagian bunga lainnya sepenuhnya menyatu dengan bakal buah, jadi bagian lainnya tampak seperti muncul dari atas bakal buah. Resupinate adalah sebutan untuk bunga anggrek yang posisi bibirnya di bagian bawah. Pada perbungaan tegak, ketika bunga masih kuncup, bibir berada di bagian atas, tetapi selama perkembangan bunganya karena gravitasi bunga ini memelintir hingga bibirnya di bawah.
Pada bunga Liliflorae perhiasan bunga bagian dalam dan luar biasanya sama dalam warna dan teksturnya, tetapi pada anggrek berbeda, perhiasan bunga bagian luar disebut sepal dan petal untuk bagian dalam. Petal median (berhadapan dengan anther fertil) selalu nampak beda dari 2 petal lainnya dan ini disebut lip atau labellum. Organ ini biasanya lebih besar dan majemuk dibanding petal, sehingga lip merupakan pengenal utama untuk anggrek. Bagian lip seringkali menyatu dengan column, sangat jarang dengan dengan perhiasan bunga lainnya. Ada beberapa tingkat penyatuan antara organ style dan staminal filaments. Dalam banyak kasus struktur ini menyatu seluruhnya sehingga tidak dapat dibedakan antara keduanya. Kombinasi struktur ini disebut tugu (column) atau gymnostemium. Dalam beberapa marga (Diuris) tugunya kecil sampai dapat dikatakan tidak memilikinya. Sebaliknya dalam marga yang lain tugunya tampak jelas. Beberapa tugu memiliki sayap lateral, ini sering diinteprestasikan sebagai staminodia. Pada bagian dasar tugu pada banyak anggrek membentuk perpanjangan ke arah ventral dimana lip menyatu.
Pada dasarnya, anther merupa struktur bundar dengan 4 kantung sporogenous memanjang, atau locules. Dalam kelompok ini, beberapa locules anther mungkin menyatu, jadi menghasilkan beberapa massa pollen. Butir-butir pollen pada hampir seluruh anggrek agak sedikit lengket atau berkelompok bersama dalam berbagai cara, pada umumnya struktur ini disebut pollinia. Ketika pollinia ini agak sedikit keras dan padat, biasanya ada perpanjangan lembut atau ekor dimana pollinia menempel pada viscidium atau serangga penyerbuk. Fungsi caudicle ini merupakan tangkai, juga bagian yang lemah, sehingga pollinia lepas dari penyerbuk dan tinggal pada stigma. Stigma, diperkirakan memiliki 3 cuping, dalam banyak kasus, cuping stigma dorsal (median) jauh lebih besar daripada cuping lateral. Rostellum adalah bagian distal stigma yang melengkung ke bawah. Kebanyakan Vandoideae dan beberapa anggrek lain mempunyai stipe yaitu sabuk jaringan tidak lengket tempat menempelnya pollinia pada viscidium. Adalah paket yang dibawa penyerbuk yang meliputi pollinia, viscidium dan sering juga dengan stipe.
Buah anggrek terdiri dari 3 ruang dengan ukuran yang sangat bervariasi dari beberapa mm sampai dengan beberapa puluh cm. Biji anggrek sangat halus, berukuran antara 0.3 mm sampai 5 mm panjangnya dengan variasi besar dalam lebar dan strukturnya. Biji anggrek tidak memiliki keping biji sebagai cadangan makanan selama perkecambahan. Oleh karena itu para peneliti meyakini nutrisinya selama berkecambah disediakan oleh jenis jamur Mikorrhiza yang spesifik.
Seperti telah diketahui, bahwa anggrek menunjukkan keragaman besar dalam struktur bunganya, tetapi perawakan vegetatifnya seragam monoton. Benzing (1986a,b) berpendapat sebaliknya, bahwa struktur anggrek nisbi stereotip, sementara struktur vegetatifnya bervariasi. Struktur bunga agak seragam dalam jumlah dan susunan bagiannya, tetapi memiliki keragaman besar dalam dalam ukuran dan detail strukturnya. Pendapat umum mengatakan bahwa anggrek sangat spesifik dalam kaitan proses penyerbukannya, dikatakan secara tidak langsung, kebanyakan jenis anggrek terikat pada jenis tunggal penyerbuk. Namun, banyak anggrek secara normal diserbuki oleh satu kelompok kelas penyerbuk, dan sebagian lainnya sangat beralasan bahwa anggrek diserbuki oleh lebih dari satu kelompok kelas penyerbuk.
Anggrek-anggrekan merupakan suatu kelompok tumbuhan yang berevolusi aktif, jenis, marga, tribus, dan subtribus semuanya sulit untuk dibatasi. Kelompok ini dipercaya sangat cocok untuk studi evolusi. Peningkatan perkembangannya sangat jelas terarah untuk banyak tampilannya. Dalam tampilan bunganya, sebagai contoh, kebanyakan urutan perubahannya mulai dari sederhana (seperti struktur bunga lili) sampai yang lebih kompleks sangatlah unik. Darwin telah menyempatkan waktunya untuk mempelajari struktur dan fungsi bunga angrek, tetapi sangat disayangkan studi anggrek ini telah dilalaikan oleh murid-murid filogeni dan sistematisnya. Kita tidak memerlukan filogeni untuk meneliti keragaman anggrek, tetapi pengetahuan seluruh pola evolusi yang perlu dipelajari yaitu anatomi, sitologi, dan tampakan lainnya yang lebih bermakna. Kita dapat membuat dan menguji hipotesa tentang kekerabatan, dan itulah yang membuat sistematika menarik.
Dibandingkan dengan anggrek epifit, anggrek tanah lebih sedikit jumlahnya. Tipe pertumbuhan pada anggrek tanah umumnya adalah simpodial, dengan pertumbuhan kearah samping dan perbungaan di lateral. Namun ada bentuk pertumbuhan lain seperti pada anggrek tanah Arundina graminifolia dimana masing-masing tunas baru menghasilkan batang, serta bunga muncul di ujung batang. Spathoglottis plicata dan Arundina graminifolia tumbuh secara menerus tidak ada masa dorman. Jenis Spathoglottis affinis dan marga lain seperti Eulophia dan Nervilia mempunyai masa dorman (istirahat) yang biasanya terjadi pada musim kering (curah hujan berkurang). Pada masa dorman ini daun mati dan jatuh, tinggal umbi semu yang bisa bertahan selama musim kering, periode istirahat ini disebut obligatory.
Pada Habenaria dan Pecteilis umbi semu dibentuk dari tunas pada pangkal batang. Umbi mengalami masa dorman pada saat musim dingin atau musim kering. Tunas akan muncul bila cuaca panas dan membentuk kuncup baru dengan perbungaan di ujung. Beberapa anggrek tanah mempunyai bentuk pertumbuhan simpodial tidak beraturan, yaitu batang merayap kemudian tegak dan menghasilkan perbungaan di ujung. Bagian batang yang merayap akan membentuk cabang dekat pangkal perbungaan dan proses ini akan berulang. Contoh pada semua tribus Goodyera dan beberapa jenis Malaxis.
Ada beberapa jenis anggrek tanah yang tidak mempunyai hijau daun. Asupan makanan untuk pertumbuhan dan pembungaan didukung oleh jamur yang hidup pada permukaan tanah disekitarnya dan pada bagian akar anggrek yang kaya akan unsur organik. Jamur akan mengurai humus tanah menjadi unsur yang dapat diserap oleh tanaman tersebut. Anggrek yang pertumbuhannya tergantung pada jamur di humus disebut anggrek saprofit. Anggrek jenis ini umumnya tumbuh di lantai hutan yang terlindung, antara lain marga Galeola. Anggrek Didimoplexus merupakan anggrek saprofit yang banyak ditemukan di bawah pohon bambu di Kebun Raya Bogor terutama saat musim hujan. Tidak seperti pada umumnya anggrek yang mempunyai bunga berwarna indah, anggrek saprofit umumnya tidak menarik karena berwarna suram.
Anggrek yang berpotensi ekonomi: Vanilla planifolia sebagai pengharum. Marga lainnya ada yang berpotensi sebagai tanaman hias antara lain Dendrobium, Paphiopedilum, Phalaenopsis, Vanda dan Coelogyne. Suku anggrek-anggrekan meliputi 775 marga yang terdiri dari 19500 jenis. Marga yang memiliki jumlah jenisnya banyak antara lain: Bulbophyllum (1000 jenis), Dendrobium (900 jenis), Habenaria (600 jenis), Eria (500 jenis), Eulophia (200 jenis), Taeniophyllum (170 jenis), Phreatia (160 jenis), Calanthe (150 jenis) dan Vanilla (100 jenis).
Anggrek Spathoglottis plicata dikenal dengan nama anggrek antel-antelan, merupakan anggrek tanah yang sangat umum dan persebarannya meluas. Banyak ditanam sebagai penghias taman. Bunganya berwarna ungu tua, ungu muda bahkan ada yang putih. Anggrek antel-antelan mempunyai daun pasnjang lebar dan berlipatan mulai dari pangkal sampai ujung, oleh karena itu penunjuk jenisnya diberi nama plicata. Pangkal daunnya berdaging dan membengkak membentuk seperti umbi tetapi bukan umbi betul sehingga disebut umbisemu atau pseudobulb. Umbisemu pada Spathoglottis sesungguhnya merupakan batang berdaging yang pendek.
Tanaman ini tersusun dari sejumlah umbisemu, masing-masing mendukung beberapa daun dengan akar dibagian pangkal umbi semu. Apabila berbunga tangkai bunganya muncul dari dekat pangkal umbi semu. Pangkal daun membentuk pelepah yang membalut umbisemunya. Di atas pelepah daun menyempit kemudian melebar membentuk helaian daun. Tempat bertemunya daun dan batang disebut ketiak daun. Pada ketiak daun ini dapat muncul kuncup bunga atau tunas baru. Yang pertama muncul adalah tunas dekat pangkal umbi semu. Tunas ini akan berkembang dilindungi oleh pelepah daun pendek yang berfungsi sebagai pelindung. Kemudian helaian daun hijau muncul, dan bagian pangkal kuncup baru membengkak untuk membentuk umbi semu baru, pada tingkat awal pertumbuhan muncul akar baru. Umbi semu baru pada bagian ujungnya akan membentuk daun baru serta bagian pangkal membengkak dan pangkal daun yang baru muncul membentang kemudian membelah. Anggrek Spathoglottis plicata mempunyai 3 variasi warna bunga yaitu ungu tua, ungu muda dan putih. Demikian juga anggrek tanah Arundina graminifolia, ada yang berbunga besar dengan sepal dan petal warna keunguan serta bibir ungu tua, bunga kecil dengan sepal, petal dan bibir warna putih dan bunga kecil dengan sepal dan petal warna putih serta bibir warna keunguan. Dari penelitian anatomi ternyata ketiga kelompok Arundina tersebut berbeda pada bentuk trikomanya dan jumlah lapisan mesofilnya. Sedangkan pada Spathoglotis plicata walaupun mempunyai berbagai variasi warna bunga, tetapi tidak ada perbedaan nyata pada anatominya.
TEKI-TEKIAN (CYPERACEAE)
Jati Batoro (Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Brawijaya Malang)
Beberapa anggota teki-tekian (Cyperaceae) sangatlah bermanfaat, misalnya Cyperus dapat digunakan untuk bahan makanan berupa emping tike, obat-obatan meliputi obat disentri, kolera, peluruh keringat, pendarahan, obat kumur, obat pusing dan bahan dasar bedak, kertas (Cyperus papyrus), pewangi karena mengandung minyak atsiri dan dapat dipergunakan sebagai bahan pakan ternak. Jenis mendong (Fimbristylis globulosa). oleh masyarakat Jawa maupun Sumatra dipergunakan sebagai bahan industri kecil seperti tikar, tali, kursi, yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi karena serat batangnya yang kuat dan tahan terhadap pengaruh cuaca. Umbi dari Eleocharis dulcis dapat dimakan dan dibudidayakan, umbi dari jenis Machaerina articulata oleh orang Papua digunakan sebagai bahan makanan. Secara ekologi sangat berguna terhadap kekeringan karena mempunyai umbi atau rhizome tunggal maupun bercabang bermanfaat sebagai penahan erosi tanah maupun air, memperkuat tanggul dan beberapa jenis sebagai tumbuhan pionir. Di daerah pantai berpasir selatan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah didominasi jenis Carex spp. bersama dengan rumput lari (Spinifex littoreus) secara alami berguna dalam menahan erosi angin terutama pada musin kemarau.
Dalam kehidupan sehari-hari sering kita melihat teki-tekian disekitar kita, baik ditepi jalan, kebun, sekitar rumah kita Cyperus rotundus, Scirpus grossus, di tepi rawa atau persawahan. Cyperus rotundus sering disebut oleh orang Sunda maupun Jawa teki. Asalnya dari Afrika kemudian menyebar sampai wilayah Malesia.
Tumbuhan ini merupakan tumbuhan herba menahun tinggi 0,1-0,8 meter, liar. Habitat tempat basah, tepi jalan, lapangan, padang, bukit pasir, persawahan, dengan penyinaran banyak dan terbuka. Umbi berwarna coklat membulat sampai bulat memanjang beralur, diameter 5-7 mm, panjang sampai 2 cm, berakar serabut oleh karena itu tumbuhan ini termasuk tumbuhan Monokotiledoneae atau Liliopsida. Batang bersegi tiga, hijau, licin mengkilap, bagian pangkal membulat berwarna kuning keputihan. Daun hijau mengkilap berjejal pada pangkal batang, pelepah daun sering tertutup tanah, helaian daun bangun garis, ujung meruncing, daun pembalut 3-4, hijau bervariasi. Bunga tunggal hingga majemuk berkembang baik. Anak bulir 3-10 terkumpul dalam bulir, duduk berbentuk garis, tipis, coklat, berbunga 10-40. Dalam 1 tangkai terdiri dari 4-15 buliran, sekam bulat memanjang, hijau sampai coklat kemerahan. Sekam dengan punggung hiajau dengan sisi coklat, benang sari 3, kepala sari linier, kuning tua sampai coklat cerah, tangkai sari berbentuk benang panjang. Tangkai putik bercabang 3. Buah memanjang sampai bulat telur terbalik, persegi tiga, coklat, permukaan halus. Biji putih. Komposisi per 100 gram umbi mengandung 59,3 gr, protein 2,3 gr, lemak 1,6 gr, karbohidrat 20 gr, abu 0,3 gr dan 0,6 minyak esensial.
Teki-tekian meliputi beberapa jenis seperti mendong dicirikan tumbuh di habitat rawa atau sawah tergenang air, tinggi hingga 1 meter. Bunga majemuk 1- banyak, spikelet (buliran) bulat-membulat, sekam membulat telur, stamen 2-3. Anthera 0,2 mm. stilus 2. Buah membulat-cembung yang dapat digunakan sebagai anyaman tikar, tali, topi, kursi mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi. Produksi terutama di kecamatan Wajak Kabupaten Malang, desa Belayu, Jawa Barat dan Nanggroe Aceh Darussalam. Jenis lain seperti Carex arenaria banyak tersebar di Jerman mempunyai rimpang berwarna pirang tua, beruas tak berongga, menjalar dan bercabang-cabang dipergunakan sebagai obat pembersih darah dan dikenal sebagai rhizoma caricis adalah bahan yang mengandung saponin, asam kersik, minyak atsiri dan amilum. Beberapa jenis Kyllinga dapat digunakan sebagai obat. Cyperus esculentus salah satu jenis teki umbinya digunakan sebagai bahan makanan emping teki. Cyperus papyrus, C. flabelliformis dipergunakan sebagai tanaman hias ruangan maupun taman yang sangat indah. Secara ekologi Cyperaceae bersama dengan rumput-rumputan (Gramineae) mendukung konservasi alami, memperkuat tanggul, disamping manfaatnya sebagai makanan ternak.
Persebaran teki-tekian dari daerah tropika sampai subtropika (iklim sedang), dataran rendah sampai tinggi, tepi sungai, perairan seperti rawa, manggove, hutan kerangas, padang, gurun yang kering sampai daerah tundra arktika yang berbatasan dengan kutub. Seperti halnya jenis habitat manggrove seperti Cyperus javanicus, Carex silvestris dan Carex rupestris tersebar di daerah tundra, rawa berair atau teki aquatic seperti Carex aquatilis, C. angustifolium merupakan jenis teki-tekian pionir. Cyperus distachyos dan Scirpus mauritimus tersebar di daerah gurun, sedangkan tumbuhan kertas tumbuhan asli dari Afrika (Cyperus papyrus L.) tersebar didaerah iklim sedang yang subur. Di daerah padang atau persawahan di Jawa meliputi Cyperus rotundus, C. iria, C. pilosus, C. distans, C. cyperoides, C. compressus, C. imbricatus, C. tenuispica, C. imbricatus, C. compactus, Carex breviculmis, C. brachyathera hidup pada daerah pegunungan yang mempunyai ketinggian 3700-4100 m dpl, Scirpus clarkei pada ketinggian 3400 m di gunung Kinabalu Serawak. Bulbostylis dessa pada ketinggian 1000-3000 meter, Fimbristilys consanguinea pada ketinggian 1650=2800 meter dpl. Menurut Steenis, 1976 Cyperus melanospermus pada ketinggian 500-3000 meter tersebar dari gunung Gede daerah Malesia, Fiji, Africa, New Quinea. Carex longipes mempunyai distribusi gunung Patuha. Papandayan, Dieng, Tengger, Ijen, Nepal dan New Guinea. Persebaran teki-tekian sangat dipengaruhi oleh adanya hubungan geografi, habitat maupun pemencarannya. Marga Capitularina di daerah Malesia hanya terdapat di New Quinea dan Filipina. Marga Uncinia di gunung Kinibalu dan Filipina. Sejumlah marga di dunia lama, tetapi tidak terdapat di Afrika seperti Gahnia, Scirpodendron, Lepidosperma dan Tricostularia. Jenis endemik pada suatu daerah misalnya Carex gajonum di Sumatra, Eleocharis sundaica di Alor, Scleria pigmaeopsis di Sumba, Fimbristylis celebica ada di Sulawesi tengah. Namun juga seperti Scirpus inundatus tersebar dari New Quinea, New Zealand, Australia dan Amerika Selatan. Berbeda dengan rumput pemencaran teki-tekian disamping dengan angin (anemogami), biasanya buah teki merupakan buah kurung yang tidak membuka, berbiji tunggal dan sering tidak mengapung, buah tersebut tidak mempunyai kemampuan untuk memencar secara leluasa, tapi mengapa dapat terpencar di seluruh dunia? Seperti Carex spp buah dikelilingi oleh daun-daun pelindung dan tidak gugur, berfungsi menjadi gelembung tapi hanya pada bunga betina saja, mungkin untuk pemencaran Cara penyebaran yang lain yaitu dengan perantaraan burung air atau itik, biji ditelan lewat tinja atau dimuntahkan, burung yang bermigrasi sehingga mempunyai jarak yang jauh. Pada marga Gahnia (Cyperaceae) penyerbukannya kombinasi hidrokori dan endozookori.
Cyperaceae sering dikenal sebagai rumput teki, mewadahi tetumbuhan herba tahunan. Akar rimpang merayap di dalam tanah. Batang jarang bulat kebanyakan segitiga, umumnya tidak bercabang di bawah pembungaan. Daun berjejal pada pangkal batang. Pelepah daun kerap ada, ligula kerapkali tidak ada. Helaian daun duduk, berbentuk garis dengan urat daun sejajar. Bunga berkelamin satu atau dua dan tersusun dalam anak bulir, kemudian terkumpul lagi menjadi berbeda dalam karangan bunga yang tersusun bulir, tandan atau payung. Anak bulir dengan 1- 4 sekam (gluma) atau lebih, sekam terikat pada poros anak bulir dalam baris yang berhadapan atau spiral. Bunga tersusun dalam spikelet (buliran) berdiri sendiri dalam dalam ketiak sekam. Tenda bunga tereduksi. Benang sari 1-3, tangkai sari berlepasan, kepala sari beruang 2 melekat pangkal. Tangkai putik 1 kebanyakan bercabang 2-3. Bakal buah beruang 1, bentuk melensa atau segitiga. Bakal biji 1 per ruang, plasenta basal, biji tidak membuka. Biji lepas dari dinding buah. Pada Carex biji tegak dan kecil.
Teki-tekian biasanya mendominasi daerah yang luas, merupakan tumbuhan herba yang terdiri kira-kira 70-90 marga mengandung lebih 4000 jenis, sangat beranekaragam tersebar dari daerah tropik sampai subtropik. Karakter anatomi dapat digunakan untuk memisahkan subfamilia maupun tribus. Berdasarkan fitokimia Cyperaceae mengandung alkaloid, flavonoid, quinines dan phenolik ketone terutama pada rhizome. Marga ini dipisahkan 6 tribus yaitu Cypereae terdiri Cyperus dan Kyllinga, Dulichieae, Rhinchosporeae, Scirpeae meliputi Scirpus, Fimbristylis, Hypolytreae, Sclerieae, Cryptangieae dan Cariceae meliputi Carex. Di Malesia terdapat 20 marga endemik. Namun demikian secara keseluruham jenis-jenis teki mudah dikenali dari daun yang duduk berjejal, menyabuk, batang kebanyakan segitiga. Oleh karena itu secara sepintas penampilannya seperti rumput-rumputan atau gramineae. Secara ekologi antara Cyperaceae dan Poaceae semakin meyakinkan adanya kesejajaran filogeni diasporanya.
RERUMPUTAN (POACEAE)
Alex Sumadijaya (Herbarium Bogoriense, Puslit Biologi LIPI, Bogor)
Rerumputan merupakan salah satu kelompok tetumbuhan berbiji yang dekat dengan kehidupan manusia. Padi, jagung, tebu, sereh dan bambu merupakan contoh yang dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia dalam kesehariannya. Bagi orang awam, rerumputan sering disamakan dengan tetekian (Cyperaceae) yang mirip perawakannya seperti juga merakan dan geworan dari suku Commelinaceae dan Juncaceae. Secara umum, ciri yang membedakan antara suku Poaceae dengan suku yang berkerabat dekat terutama Cyperaceae adalah: letak daun tersusun dalam 2 baris yang sebidang, memiliki ligula (lidah daun), dan penampang melintang pada buluhnya membulat atau pipih, tidak bersegi, biji menyatu dengan buah, serta pelepah tidak menyatu. Dalam pengelompokannya di dunia tetumbuhan, rerumputan disetarakan dengan tingkatan suku yaitu Gramineae atau dikenal dengan nama lain Poaceae. Gramineae merupakan nama yang dipakai pertama kali oleh Antoine Laurent de Jussieu untuk kelompok ini. Poaceae adalah nama yang diterapkan oleh Barnhart tahun 1895 dengan mengacu marga Poa yang perawakannya mewakili fisik dari suku ini.
Struktur rumput terdiri atas 3 bagian utama, akar, batang dan daun. Batang pada rumput dapat tumbuh secara mendatar maupun tegak. Batang mendatar umumnya tumbuh sejajar dengan tanah, dapat berupa rimpang bila berada di dalam tanah, maupun berupa geragih bila merayap di atas permukaan tanah. Baik rimpang maupun geragih dapat tumbuh menyebar ke berbagai arah, sehingga dalam jumlah besar mampu membentuk hamparan. Ruas yang terdapat pada keduanya dapat membentuk akar yang tumbuh mengikuti pengaruh gravitasi dan juga membentuk batang yang tumbuh tegak berupa buluh yang terdiri dari beberapa ruas. Ruas merupakan sekat melintang pada batang dan lebih tebal dibandingkan wilayah antar ruas dan berfungsi sebagai pengokoh berdirinya batang. Daun melekat pada ruas dan terdiri dari pelepah serta helaian daun. Pelepah merupakan struktur pemeluk buluh yang berfungsi sebagai penyangga helaian daun. Helaian daun umumnya berbentuk melanset hingga memita (linear) dengan perbandingan lebar terhadap panjang 1 berbanding 5 atau lebih. Pertulangan daun lurus memanjang dari pangkal hingga ujung yang berbentuk meruncing. Di antara pelepah dan helaian daun umumnya terdapat lidah daun (ligula) yang dapat berbentuk seperti membran ataupun barisan rambut yang tersusun seperti sisir dan berfungsi untuk mencegah masuknya air ataupun serangga ke sisi dalam pelepah. Terkadang, pangkal helaian daun menyempit hingga tulang daun utama, sehingga tampak seperti memiliki tangkai yang pendek. Pangkal helaian daun juga dapat agak melingkar buluh hingga membentuk struktur seperti cuping. Buluh umumnya berakhir dengan perbungaan.
Susunan perbungaan pada rumput dapat berupa tandan (setiap spikelet memiliki tangkai yang melekat pada ibu tangkai perbungaan), bulir (setiap spikelet melekat langsung pada ibu tangkai perbungaan) maupun malai (struktur tandan atau buliran yang tersusun bersama sehingga membentuk tandan majemuk). Unit dasar perbungaan disebut spikelet atau buliran, yang dapat terdiri dari 1 bunga (floret) atau lebih. Bila dibelah melintang, buliran terlihat memipih maupun tidak. Bila memipih, dapat secara lateral maupun secara dorsiventral. Bila memipih secara lateral, berarti baik sekam kelopak dan sekam mahkotanya membentuk struktur seperti lunas kapal, sedangkan bila memipih dorsiventral berarti sekam kelopak dan mahkotanya membentuk struktur seperti mangkuk ataupun merata. Buliran terdiri dari perhiasan bunga sangat tereduksi maupun termodifikasi menjadi beberapa bagian yaitu sekam, sekam kelopak dan sekam mahkota. Sekam yang terdapat pada bagian terluar memiliki tekstur yang keras dan kasar serta berfungsi sebagai pelindung. Bila sekam tersebut berukuran kecil ataupun tidak kasar, sekam kelopak yang terdapat di sisi dalammnya umumnya bertekstur kasar untuk menggantikan fungsi sekam seperti pada padi. Sekam kelopak yang berpasangan dengan sekam mahkota menyelubungi lodikula, benang sari, dan putik membentuk struktur bernama floret yang umumnya berkelamin ganda.
Perkembangbiakan pada rerumputan dapat secara vegetatif (dengan membentuk buluh baru dari rimpang ataupun geragih. Pada generatif, buah dan bijinya yang menyatu (caryopsis) dihasilkan oleh penyerbukan dengan bantuan angin. Penyebaran terjadi dengan menggunakan berbagai agen seperti air, angin dan hewan. Alang-alang dan ilalang (Imperata cylindrica, Pennisetum polystachyon) memiliki struktur rambut sangat halus serta ringan sehingga mudah disebarkan oleh angin. Rumput lari-lari (Spinifex littoreus) yang ringan dan dapat mengambang memanfaatkan angin dan air untuk menempati daerah yang baru. Suket domdoman (Chrysopogon aciculatus) dengan struktur berupa tugi dapat tertancap pada rambut hewan maupun pakaian manusia sehingga dapat berpindah tempat dengan mudah.
Kebanyakan rerumputan merupakan jenis yang terdapat di wilayah terbuka, yang mendapat sinar matahari penuh. Bahkan terkadang kita melihat rumput terhampar sedemikian rupa di wilayah terbuka seperti wilayah kebun yang ditinggalkan. Di Indonesia timur, pada wilayah yang cukup kering, savana yang merupakan jenis ekosistem yang ditumbuhi oleh rerumputan adalah bentang alam yang umum. Di lingkungan perkotaan rerumputan menghuni lahan-lahan tidur, menempati ruangan kosong yang kecil maupun sempit seperti halaman rumah, pinggiran sungai (umumnya Panicum, Pennisetum), tepian selokan (umumnya Setaria, Pogonatherum), tepian jalan ( umumnya Eleusine indica, Digitaria, Sporobolus), sepanjang jalur kereta api, bahkan pada sela-sela batu di lapangan parkir. Hal tersebut didukung oleh pertumbuhan, perkembangbiakan dan penyebarannya yang sangat efektif. Hanya beberapa marga rumput yang hidup teradaptasi pada lingkungan yang teduh seperti marga Cyrtococcum, Oplismenus, Centotheca, Lophatherum dan Scrotochloa. Jenis-jenis tersebut memiliki daun yang relatif lebih lebar untuk mendapatkan cahaya matahari maksimal di bawah tajuk pepohonan hutan.
Saat ini, lebih dari 70% kalori yang dikonsumsi oleh manusia berasal dari kelompok rerumputan dalam berbagai bentuk seperti tepung, serealia (biji rerumputan yang umum dimakan), gula, alkohol, dan daging dari ternak yang mengkonsumsi rumput. Manfaat lainnya adalah sebagai penutup tanah yang mencegah erosi permukaan saat hujan serta untuk halaman taman. Jenis yang memiliki kandungan serat tinggi dapat digunakan sebagai bahan baku kertas, juga biofuel. Kelenturan bambu menjadikannya sebagai bahan yang tepat untuk pembuatan bangunan tahan angin. Selanjutnya akan dibahas beberapa jenis rerumputan, yang berhubungan dengan hidup manusia maupun yang sering terlihat.
Oryza sativa L.
Jenis yang dikenal dengan nama padi di Indonesia ini, pertama kali dipertelakan oleh Carolus Linnaeus pada tahun 1753 dalam bukunya Species Plantarum. Padi merupakan tanaman semusim yang kegunaannya sangat besar bagi kehidupan manusia. Bulirannya berupa beras, dan ditanak menjadi nasi, yang merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia dan lebih dari 40% penduduk dunia. Buluhnya yang tumbuh berumpun saat kering menjadi jerami untuk pakan ternak.
Padi dapat tumbuh pada berbagai ketinggian, dari tepi pantai hingga wilayah pegunungan, baik pada tempat kering maupun yang terendam air. Penanaman padi bervariasi tergantung dari kondisi lingkungan dan sumber air, yang dapat berupa tadah hujan maupun irigasi. Di kawasan Asia tropika, cara yang umum adalah persawahan dengan perendaman air. Pada persawahan ini, terdapat dua periode, yaitu perendaman air di periode awal, dan diakhiri dengan periode kering.
Nama Oryza berasal dari bahasa Yunani yang berarti padi, dan sativa yang berarti ditanam oleh manusia. Dalam sejarahnya, padi diyakini telah ditanam oleh manusia selama 9000 tahun, namun baru diusahakan di Indonesia, Malaysia, dan Filipina sejak 1500 tahun sebelum masehi. Budidaya padi dilakukan di kawasan tropika hangat yang meluas ke kawasan subtropika.Nama Oryza glutinosa Lour. yang melekat pada beras ketan, adalah sinonim dari Oryza sativa L., sehingga keduanya adalah merupakan jenis yang sama, hanya saja menghasilkan kualitas buliran yang berbeda.
Saccharum spontaneum L.
Merupakan jenis rerumputan yang dengan nama gelagah ataupun glagah, dan umum ditemui di tepian jalan serta jalur air, maupun lahan terbuka. Nama Saccharum memiliki arti gula, yang mengacu pada kandungan gula dalam buluhnya, dan spontaneum berarti tumbuh secara liar, yang sesuai dengan perawakannya. Gelagah berbunga di akhir musim hujan dan memiliki buliran dengan rambut halus panjang yang memudahkannya untuk disebarkan dengan hembusan angin. Merupakan jenis dengan variasi yang tinggi serta dapat dibedakan menjadi 2 anak jenis yang terpisah secara geografi. Sebarannya cukup luas meliputi Dunia lama (Old World) hingga Asia Tenggara. Di pedesaan, gelagah digunakan sebagai tumbuhan pakan ternak, pencegah erosi untuk tanah berpasir, dan daun untuk bahan pembuat atap. Potensi lainnya adalah sebagai tumbuhan untuk reklamasi kawasan bekas tambang.
Chrysopogon aciculatus (Retz.) Trin.
Salah satu jenis rumput yang terdapat di sekitar kita adalah suket domdomam, suatu nama yang dikenal oleh masyarakat sunda, sedangkan di masyarakat batak disebut dengan nama salohot, dan dikenal sebagai love grass dalam bahasa Inggris.
Nama ilmiah dalam bahasa latin dari jenis tersebut adalah Chrysopogon aciculatus. Kata pertama yang berawalan huruf kapital merupakan nama marga, diambil dari bahasa Yunani chrysos yang memiliki arti berwarna keemasan, dan pogon yang berarti janggut. Kata kedua merupakan petunjuk jenis, berasal dari bahasa Yunani acicula yang berarti jarum kecil. Nama tersebut mengacu pada ciri unik rumput tersebut yaitu memiliki struktur berupa jarum kecil dengan rambut atau janggut berwarna keemasan. Kedua kata tersebut harus digunakan bersama bila membicarakan rumput suket domdoman, karena merupakan suatu kesatuan yang mengacu pada tingkat jenis.
Rumput ini tersebar luas di Asia Tropika, Australia, Polynesia, dengan kelimpahan terbesar di Asia Tenggara. Jenis ini digunakan oleh masyarakat sebagai pakan ternak, penutup pekarangan, dan melindungi tanah dari erosi. Tumbuh dan berkembang menutupi tanah, dapat berbunga saat berusia 6 hingga 8 minggu. Bunga dapat ditemukan sepanjang tahun. Perbungaannya yang khas beserta buliran yang mudah menempel pada hewan maupun pakaian manusia yang lewat dapat dilihat pada gambar 3.
Sebagian besar dari penelitian rerumputan yang terdokumentasikan di Perpustakaan Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi LIPI adalah mengenai taksonomi. Cakupan penelitian tersebut tidak hanya meliputi Indonesia, namun hingga kawasan Malesia. Beragam jurnal memuat kemajuan penelitian tersebut seperti Reinwardtia terbitan Herbarium Bogoriense, Blumea milik Nationaal Herbarium Netherlands cabang Leiden, Kew Bulletin dari Royal Botanic Garden Kew, dan The Gardens’ Bulletin yang berasal dari Singapore Botanic Garden. Kontribusi penulis asing yang sangat jelas adalah J. Veldkamp, seorang taksonomiwan Belanda yang banyak meneliti rerumputan Indonesia. Kerja secara mandiri maupun kolaborasi dilakukannya dengan Markgraff-Dannenberg, Baaijens, van der Have, de Koning dan Sosef dalam membahas berbagai marga seperti Festuca, Bromus, Poa, Sporobolus, Aegopogon, Agrostis, Chikusichloa, Trisetum, Setaria, Digitaria, Rottboelia, Hyparrhenia, Leptochloa, Aristida, Brachiaria, Cleistogenes, Kengia, Moorochloa, Urochloa, dan Rytidosperma. Peneliti Indonesia yang berkecimpung dalam suku rerumputan masih sedikit seperti Eka Iskandar melakukan revisi Isachne seksi Isachne dan M. Lasut menemukan jenis rumput baru sewaktu mengadakan survei menyeluruh untuk pulau Sulawesi.
Dari kelompok bambu, Elizabeth Widjaja memberikan sumbangan berupa pertelataan 43 jenis baru pada tahun 1997, dengan tambahan 6 jenis Bambusa, 4 jenis Dinochloa, 2 jenis Nastus, 3 jenis Dendrocalamus, 13 jenis Gigantochloa, 2 jenis Racemobambos, 11 jenis Schizostachyum dan 2 marga monotipik (yang hanya memiliki 1 jenis sebagai anggotanya) yaitu Parabambusa dan Pinga. Dua marga baru yaitu Fimbribambusa dan Neololeba juga dipisahkan dari marga Bambusa. Dua buah identikit untuk bambu saat ini telah diterbitkan untuk Jawa dan Kepulauan Sunda Kecil.
Dalam bidang ekologi, Suzuki, Partomihardjo, dan Turmudi mengamati suksesi 10 tahun dari Saccharum spontaneum di Anak Krakatau. Untuk masa depan, beragam penelitian masih sangat mungkin untuk dilakukan karena besarnya keanekaragaman hayati rerumputan ini hanya ditangani oleh segelintir sumber daya manusia yang sangat terbatas.
Bambu dan kerabatnya (Anak suku Bambusoideae)
Elizabeth A. Widjaja (Bidang Botani, Puslit Biologi LIPI, Bogor)
Bambu betung (Dendrocalamus asper), bamboo tali (Gigantochloa apus), bamboo hitam (Gigantochloa atroviolacea), bamboo gombong (Gigantochloa pseudoarundinacea) merupakan jenis-jenis bamboo yang dikenal umum oleh masyarakat di Jawa karena jenis-jenis tersebut merupakan jenis yang umum digunakan baik sebagai bahan bangunan, bahan kerajinan, maupun bahan baku untuk industri sumpit, tusuk gigi ataupun papan bamboo. Loleba (Neololeba atra) merupakan bamboo yang dikenal oleh masyarakat Maluku dan Papua untuk bahan baku anyaman. Walaupun demikian bambu-bambu tersebut di atas tidak dapat digunakan secara umum, karena kespesifikan dan panjangnya serat menyebabkan kekuatan dan daya tarik setiap bamboo akan berbeda sehingga kegunaan jenispun agak terbatas sesuai dengan karakterisasi jenisnya. Sebagai contoh bamboo tali dapat digunakan sebagai bahan bangunan bila diletakkan sebagai tulang rusuk atap rumah dan tidak kuat bila digunakan sebagai tiang, namun bila digunakan lebih dari 1 batang ada kemungkinan kekuatan bamboo lebih besar sehingga dapat berfungsi sebagai tiang rumah.
Jenis-jenis yang telah disebutkan di atas termasuk dalam golongan bambu yang berkayu (woody bamboo) yang merupakan jenis-jenis yang tumbuhnya tegak atau menjalar atau tumbuh serabutan. Batangnya dapat mencapai panjang hingga 25 m atau lebih bagi jenis-jenis yang tumbuh menjalar. Sebaliknya dikenal juga jenis-jenis bambu yang tergolong dalam bambu herba atau herbaceous bamboo, merupakan jenis-jenis yang tumbuhnya pendek kurang dari 1 m, sebagai contoh adalah kelompok padi. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa bambu herba (herbaceous bamboo) dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok yang tumbuh di tempat rawa terbuka dan yang lain di daerah yang terlindung dan beririgasi baik. Kelompok bambu yang berkayu tumbuh hanya di daerah yang beriklim munson tropik, sedangkan jenis yang berdaun lebar umumnya tumbuh di hutan primer. Jenis bambu herba tumbuh di daerah tropik hingga daerah beriklim sedang. Walaupun demikian keduanya dapat tumbuh dengan baik di pegunungan hingga batas garis salju (snow lines).
Bambu-bambu termasuk anak suku Bambusoideae, karena adanya ciri-ciri: system perakarannya yang serabut dan umumnya perbungaan ada di ujung daun, batangnya biasanya mati setelah berbunga, dan bunga tumbuh setelah beberapa tahun. Akarnya ada yang mempunyai stolon yang pendek sehingga disebut sebagai pachymorph (Gambar 1) atau dengan stolon yang panjang sehingga disebut leptomorph (Gambar 2). Batang yang tumbuh dari system perakaran yang pachymorph akan menghasilkan batang yang tumbuh berdekatan sehingga tampak berumpun. Sedangkan batang yang tumbuh dari system perakaran yang leptomorph menghasilkan batang yang tumbuh berjauhan sehingga tampak tumbuh tunggal dan berjauhan antara batang yang satu dengan yang lain. Batangnya ditutupi oleh pelepah terutama ketika masih muda, pada pelepah terdiri atas pelepah buluh sendiri, kuping pelepah buluh, daun pelepah buluh. Kuping pelepah buluh kadang tidak begitu tampak dan kadang berbulu atau tidak berbulu. Pada bagian atas pelepah ada ligula sepanjang atas pelepah. Ligula ini seringkali sangat pendek tapi ada kalanya sangat besar sekali, seringkali tidak berbulu, tapi pada beberapa jenis berbulu lebat (Gambar 3). Daunnya tersusun seperti genting dalam 2 jalur, setiap daun diakiri oleh tangkai daun yang kemudian dilanjutkan dengan pelepah daun yang membungkus cabang daun (Gambar 4). Bunganya seperti pada rumput-rumputan lainnya berbentuk malai yang tersusun dari buliran. Pada anak suku Bambusoideae disebutnya pseudospikelet atau buliran semu, karena setiap buliran semu terdiri atas beberapa buliran (Gambar 5). Setiap buliran semu terdiri atas 1 hingga beberapa buliran, dan setiap buliran terdiri atas gluma, lemma dan palea. Di balik gluma seringkali ada kuncup buliran karena itu bunganya disebut sebagai buliran semu.
Anak suku Bambusoideae terbagi dalam 6 kelompok, yaitu kelompok Oryza, Kelompok Anomochloa, Kelompok Bambusa, kelompok Dendrocalamus, kelompok Phyllostachys dan kelompok Arundinaria.
Kelompok Oryza. Kelompok ini adalah termasuk jenis-jenis padi maupun kerabat liarnya. Jenis ini diperkirakan terdiri atas 20 marga termasuk Oryza atau padi. Kelompok ini berbeda dari kelompok lainnya karena secara anatomi dilihat bahwa fusoid cellnya sangat jarang diperoleh. Namun kelompok ini termasuk dalam anak suku Bambusoideae karena secara anatomi merupakan tipe bambusoid. Sedangkan bijinya mrupakan biji padi-padian dengan embrio kecil dan hilum yang berbentuk garis, yang mengindikasikan ciri bambusoid.
Kelompok Anomochloa. Kelompok ini merupakan kelompok yang tahan terhadap naungan. Sayangnya kelompok ini banyak tumbuh di luar daerah dunia tua, yaitu dunia baru seperti Amerika Selatan, Brazil dan lain-lain. Marga yang tumbuh di kawasan tropika dunia lama antara lain adalah Streptogyne yang mempunyai styles yang panjang dan tidak mudah gugur. Marga lainnya adalah Olyra yang umumnya tumbuh di daerah hutan hujan dataran rendah di daerah tropika. Marga ini mempunyai bunga uniseksual yang berarti bunga jantan dan bunga betina pada bunga yang berbeda namun masih dalam satu tanaman.
Kelompok berikutnya adalah kelompok yang termasuk berkayu karena mengandung lignin pada batangnya. Pada kelompok ini, ciri utama yang digunakan dalam mengenal jenisnya adalah pelepah buluhnya, disamping itu seringkali digunakan juga pelepah daun dan bunganya. Namun bunganya jarang sekali ditemukan. Ciri batang sangat sulit digunakan kecuali bagi mereka yang sudah faham betul akan batasan marganya. Misalnya untuk kelompok Bambusa, Dendrocalamus, Phyllostachys dan Arundinaria batangnya berlubang kecuali beberapa species, terdiri atas ruas-ruas, sedangkan percabangannya dimulai dari atas permukaan tanah pada kelompok Bambusa, jauh dari permukaan tanah pada kelompok Dendrocalamus, Phyllostachys dan Arundinaria percabangannya dimulai sedikit lebih tinggi dari permukaan tanah.
Kelompok Bambusa. Tingginya dapat mencapai 25 m dan mempunyai kekuatan yang luar biasa, karena itu kelompok ini sering digunakan sebagai sumber bahan bangunan. Kelompok ini mempunyai percabangan yang tumbuh umumnya dari permukaan tanah, batangnya tegak, biasanya berlubang kecil hingga besar, berbiku-biku atau tidak lurus. Batangnya ketika muda ditutupi oleh pelepah batang, pelepah batang ini kadang-kadang gugur ketika tua atau masih melekat hingga pelepahnya membusuk. Pelepah daun terdiri atas daun pelepah buluh, dan pelepah buluh. Setiap pelepah buluh teridiri atas kuping pelepah buluh yang terdapat pada kanan dan kiri pelepah buluh bagian atas dan ligula yang terdapat seperti lidah dan terletak di bagian dalam pelepah buluh. Kedua bagian ini baik kuping pelepah buluh maupun ligula seringkali diakhiri oleh bulu pendek hingga pajang (pada ligula jarang sekali berbulu). Daunnya tersusun pada cabangnya, setiap daun mempunyai tangkai daun dan pelepah daun. Contoh bamboo yang asli dan umum dilihat dari kelompok ini adalah jenis bamboo duri (Bambusa blumeana), bamboo kuning (Bambusa vulgaris var. striata), dan bamboo ampel (Bambusa vulgaris var. vulgaris). Sedangkan jenis Bambusa yang dimasukkan ke Indonesia karena digunakan sebagai tanaman hias adalah bamboo cina (Bambusa multiplex) yang mempunyai batang kecil (diameter 1 – 2 cm) dengan daun yang kecil pula (10 – 15 cm x 0.8 – 1.0 cm). Jenis bamboo duri biasa digunakan untuk membuat keranjang gamping atau garam di daerah pantai utara Jawa Tengah, sedangkan bambu kuning umum digunakan juga sebagai tanaman hias. Konon menurut ceritanya bambu kuning dilarang ditanam di depan pintu halaman depan karena dapat mengakibatkan yang mempunyai rumah meninggal masih muda. Rebung bambu kuning dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pengobatan liver dengan cara merebusnya dan meminum air rebusannya.
Kelompok Dendrocalamus. Pada kelompok Dendrocalamus yang terdiri dari marga Gigantochloa, Dinochloa, Racemobambos, Nastus dan Schizostachyum merupakan marga yang umum terdapat di Indonesia. Marga lain yang tidak ada di Indonesia, adalah marga Oxytenanthera dan Melocanna. Marga yang terakhir ini ditanam di Kebun Raya dan berasal dari India. Buah dari kelompok ini umumnya berbentuk seperti gandum atau kacang, berbeda dengan kelompok Bambusa yang buahnya berbentuk padi-padian. Marga Dendrocalamus, Gigantochloa mempunyai batang yang tinggi seperti marga Bambusa, namun seringkali mencapai tinggi lebih dari 30 m. Karena itu tidak mengherankan bila kedua marga ini seringkali dipergunakan sebagai bahan baku bangunan. Beberapa jenis rebung Dendrocalamus dan Gigantochloa umumnya dapat dipakai sebagai sayur seperti rebung betung (D. asper), rebung mayan (G. mayan), namun rebung bambu tali (G. apus) tidak baik untuk digunakan sebagai sayur karena pahit rasanya. Marga dalam kelompok ini juga sangat baik digunakan sebagai bahan baku kertas. Dinochloa merupakan satu-satunya kelompok ini yang mempunyai batang menjalar, sedangkan marga Racemobambos dan Nastus merupakan kelompok yang mempunyai batang tegak dan kemudian tumbuh tersebar dan menggantung pada tumbuhan lain di dekatnya. Buah Dinochloa dan Melocanna merupakan marga yang mempunyai buah berendosperma besar, sehingga berukuran dari 0.5 cm (Dinochloa) hingga 8 cm (Melocanna) diameternya.
Kelompok Phyllostachys. Kelompok Phyllostachys merupakan kelompok yang aslinya tumbuh di daerah Cina, Jepang dan daerah lain sekitar kedua negara tersebut. Di Indonesia marga ini diintroduksi untuk digunakan sebagai tanaman hias, namun juga diperkenalkan sebagai salah satu tumbuhan pencegah erosi karena itu ditanam jenis Phyllostachys aurea (pring uncue) di lereng Gunung Merapi. Jenis ini ditanam di daerah Gunung Merapi sekitar tahun 1930-an dan sekarang batangnya sering diambil untuk digunakan sebagai alat untuk lempar lembing, bahan baku mebel dan kerajinan tangan lainnya. Akhir-akhir ini jenis ini juga di tanam di lereng Pegunungan Dieng yang kemudian dipanen untuk perusahaan mebel dan kerajinan tangan yang berada di Yogyakarta. Kelompok ini sangat mudah dibedakan dari kedua kelompok terdahulu karena tumbuhnya tidak merumpun sehingga tampak tumbuh satu-satu dengan jarak yang cukup jauh antar batang. Selain itu cabangnya hanya tumbuh di atas permukaan tanah dengan 2-3 cabang pada buku-bukunya. Tempat melekatnya cabang tersebut tampak melekuk atau cekung ke dalam sehingga terbentuk lekukan yang merupakan ciri khas untuk membedakan kelompok ini dari kelompok lainnya. Di Indonesia marga ini hampir jarang ditemukan berbunga, walaupun ada juga dilihat bunganya yang ditanam di Pegunungan Dieng. Bunganya berbentuk bunga padi-padian yang termasuk pseudospikelet dengan stamen yang terdiri atas 3 buah. Marga lain yang juga ada di Indonesia yaitu Shibatea dan Chimonobambusa yang digunakan keduanya sebagai tanaman hias. Sedangkan jenis Dendrocalamus latiflorus yang disebut bambu taiwan untuk diambil rebungnya, telah dipindahkan ke dalam marga Sinobambusa yang termasuk dalam kelompok ini.
Kelompok Arundinaria. Kelompok bambu ini merupakan kelompok bambu yang mempunyai bunga terdiri atas 3 stamen. Marga utama dalam kelompok ini adalah Arundinaria, yang banyak ditanam di mana-mana di dunia sebagai tanaman hias. Di Indonesia marga ini ditanam karena sebagai tanaman hias. Marga lain yang termasuk dalam kelompok ini adalah Pseudosasa dan Pleiblastus yang keduanya hanya ditanam sebagai tanaman hias di Kebun Raya Cibodas. Marga lain seperti Chusquea, Arthrostylidium tumbuh di dunia baru terutama di daerah Cuba, Colombia, dan Chilie. Karena itu andaikan kedua marga ini diketemukan, umumnya di Kebun Raya atau ditanam orang.
Gambar 1. Sistem perakaran pachymorph Gambar 2. Sistem perakaran leptomorph
Gambar 3. Percabangan A. Phyllostachys, Gambar 4. Pelepah buluh: a. Auricle, li.
B. Schistachyum, C. Bambusa, Ligula, b. Daun pelepah buluh.
Dendrocalamus
Gambar 5. Perbungaan: kiri: buliran;
Kanan: buliran semu. Bb: bractea;
Pr. Prophyl; g:glume; l: lemma;
p:palea; t:buliran terujung.
0 komentar:
Posting Komentar